Gaya horor natural dengan budaya serta bahasa Jawa tulen yang dibawa Singsot ini jelas menjadi penyegar di antara film-film horor saat ini.
Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak Tilik pertama kali keluar dan menjadi sensasi internet pada 2018, nama Wahyu Agung Prasetyo sebagai sutradara dan Siti Fauziah sebagai Bu Tejo mulai muncul ke permukaan. Kini keduanya kembali muncul dalam film horor bertajuk Singsot (2025).
Film Singsot sendiri dibuat dari film pendek Wahyu yang rilis pada 2016. Namun untuk format layar lebar, Wahyu kembali menulis ulang kisah berdasarkan mitos masyarakat Jawa tersebut dalam durasi yang lima kali lebih panjang dari versi pendek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulisan ulang tersebut bisa dibilang menjadi pertaruhan penting bagi Wahyu. Bukan hanya lebih berat karena mesti menulis dan menggarap lima kali ekstra, tetapi juga Singsot (2025) adalah film panjang pertamanya.
Saya bisa mengatakan usaha Wahyu tersebut tidak sia-sia. Setelah sebelumnya menggarap banyak di ranah drama dan kemudian kini ke horor, Wahyu menjadi sutradara dan penulis Indonesia yang menjanjikan di masa depan.
Dari Singsot (2025), saya melihat Wahyu jelas memahami apa yang mau ia tulis dan tampilkan di layar lebar. Wahyu sepertinya paham, tak perlu menayangkan film berjam-jam hanya untuk menceritakan satu kisah yang bisa dinikmati dengan nyaman oleh penonton.
Dengan bantuan Vanis yang juga pernah bekerja sama dengannya dalam serial Tilik (2023), Wahyu menghasilkan film horor 75 menit yang bukan hanya menawarkan jumpscare dan kengerian belaka.
Review film Singsot: Secara umum, Wahyu dan Vanis meramu Singsot (2025) dengan dasar cerita yang sederhana, yakni sebuah peritiwa horor yang kembali muncul dan meneror seorang bocah. Namun dalam tampilannya, Singsot (2025) sebenarnya lebih dari sekadar film horor. (dok. Clockwork Films via IMDb)
Secara umum, Wahyu dan Vanis meramu Singsot (2025) dengan dasar cerita yang sederhana, yakni sebuah peritiwa horor yang kembali muncul dan meneror seorang bocah. Namun dalam tampilannya, Singsot (2025) sebenarnya lebih dari sekadar film horor.
Bagi saya, Singsot bagai sup daging kuah bening yang berisi daging, wortel, dan kentang, sederhana tetapi mengenyangkan. Di dalam film ini, bukan hanya ada jumpscare dan cerita horor, tetapi ada potret sosial dan budaya masyarakat pedesaan Jawa yang ikut menggambarkan kondisi riil di lapangan.
Hal itu terlihat dari bagaimana Wahyu dan Vanis mengemas cerita Singsot (2025). Mereka fokus pada satu peristiwa dan pengiringnya, dan kemudian membaurkan itu dengan kebiasaan dan pola hidup masyarakat desa di Yogyakarta yang sebenarnya.
Penggunaan bahasa Jawa jogjaan juga jadi nilai. Bahasa Jawa yang digunakan bukan hanya sekadar dialog, tetapi dibawakan oleh orang lokal yang tentu terasa lebih natural. Sehingga, telinga bisa terbebas dari aksen-aksen buatan yang kaku dan mengurangi kenikmatan menonton film.
Namun saya juga mengapresiasi takarir bahasa Indonesia dan Inggris yang disediakan. Dialog kedua bahasa tersebut ditulis dengan gaya penuturan lisan sesuai dengan yang semestinya terjadi, bukan cuma penerjemahan AI yang kaku.
Maka dari itu, saya ingin mengapresiasi para pemain Singsot (2025) yang tampil amat natural, terutama Siti Fauziah yang mampu lepas dari bayang-bayang Bu Tejo yang ikonis dan menjadi sosok penting dalam kisah ini.
Selain Siti, Ardhana Jovin Aska Haryanto juga menampilkan upaya kerasnya menjadi Ipung. Aksinya di film panjang pertamanya ini terbilang cukup berkesan dan menunjukkan bakatnya dalam berakting yang punya prospek ke depan.
Sementara itu, keputusan Wahyu untuk menggunakan sebagian besar setnya adalah rumah asli penduduk, kebun salak asli, jalanan desa yang asli, hingga properti dan sudut-sudut rumah asli warga, juga membuat tingkat horor Singsot (2025) melesat.
Hal ini karena, banyak film horor Indonesia terlalu terobsesi menggunakan set tempat dan tampilan yang sudah direkayasa sedemikian rupa demi memenuhi "standar horor". Yang justru, membuat tampilannya kurang autentik dan menjemukan.
Review film Singsot:Siti Fauziah mampu lepas dari bayang-bayang Bu Tejo yang ikonis dan menjadi sosok penting dalam kisah ini. (dok. Clockwork Films via IMDb)
Sedangkan dalam Singsot (2025), Wahyu membuat saya teringat betapa bergidik saat ditinggal sendirian di rumah eyang, dengan langit-langit dapurnya yang tinggi, dan pintu setengah yang langsung terhubung dengan pekarangan belakang dan sumur.
Atau, dengan sengaja memanfaatkan riil toilet sekolah yang kerap menjadi gosip horor lintas angkatan di sekolah manapun. Bukan cuma itu, lokasi jalanan desa dan kebun salak yang ditampilkan seapa-adanya juga menambah unsur creepy film ini.
Belum lagi tata suara yang disajikan dalam Singsot (2025). Suara jangkrik hingga kesunyian yang ganjil pada sebagian adegan sebenarnya sudah cukup untuk menambah ketegangan dari cerita horor yang sangat keseharian ini.
Namun sayangnya, kebiasaan orang Indonesia dalam dramatisasi scoring belum bisa sepenuhnya terlepas dari Singsot (2025). Bagi saya, penambahan scoring yang terlalu dramatis justru mengurangi unsur horor dari film ini.
Selain itu, sejumlah efek visual yang disajikan dalam film ini juga belum konsisten. Pada sebagian adegan, visual yang ditampilkan bisa sepenuhnya kawin dengan sinematografi yang apik dari Fahrul Tri Hikmawan dan editing dari Yehuda Aribowo.
Akan tetapi, pada sebagian lainnya, efek visual terutama komputerisasi masih terlalu kasar dan mengganggu kenikmatan visual.
Saya juga merasa ada baiknya Wahyu melepaskan diri dari 'tren' horor Indonesia yang sudah menjemukan dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari warna judul dalam poster yang merah-lagi-merah-lagi, hingga cara jumpscare ditampilkan.
Sudah waktunya sineas Indonesia untuk lebih berani autentik pada diri sendiri dan karya seninya, alih-alih hanya sekadar mengikuti arahan produser atau film yang sudah sukses sebelumnya.
Meski saya secara umum menilai Singsot (2025) sebagai film horor yang menjanjikan, saya juga berharap Wahyu tidak berpuas diri karena jelas masih ada peluang untuk membuat karya yang lebih baik dari Singsot (2025).
Gaya horor natural dengan budaya serta bahasa Jawa tulen yang dibawa Wahyu ini jelas menjadi penyegar di antara film-film horor yang hanya sekadar memanfaatkan budaya Jawa, tapi minim esensi.
Tentu saya mengharapkan film serupa dengan bahasa dan budaya daerah lainnya di Indonesia ikut meramaikan genre horor lokal. Karena saya yakin, cerita dan mitos horor yang layak dituturkan di layar lebar bukan hanya berada pada satu daerah atau pulau tertentu saja.
(end)