Review Film: The Last Supper

2 days ago 8

img-title Christie Stefanie

Review The Last Supper: Penggambaran kegalauan murid di hari terakhir Yesus, tapi minim kekuatan emosional dalam penceritaannya.

Jakarta, CNN Indonesia --

The Last Supper menyajikan kisah yang jauh lebih sederhana dibandingkan The Passion of the Christ atau film berdasarkan Alkitab lainnya. Perbedaan signifikannya di pendekatan perspektif para murid di hari-hari terakhir Yesus.

Film garapan sutradara Italia Mauro Borelli ini lebih banyak mengambil sudut pandang Petrus (James Oliver Wheatley) dan Yudas Iskariot (Robert Knepper).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Segala kegundahan dan perdebatan batin para murid jelas lebih mendominasi cerita The Last Supper, dibandingkan dengan momen-momen Yesus (Jamie Ward) sebelum disalibkan dan bangkit pada hari yang ketiga.

Petrus bahkan menjadi narator kisah dalam film tersebut dan mengupas lebih dalam motif Yudas yang mengkhianati Yesus.

Sepanjang film, Yudas diperlihatkan sedang bimbang antara mengkhianati Yesus atau tidak menyusul putusan-putusan Gurunya yang bertolak belakang dengan ekspektasi dan pemikirannya.

Kegundahan yang dirasakan Yudas meningkat setelah ia mendapat tawaran dan imbalan uang dari Imam Besar Kayafas (James Faulkner) untuk membantunya membunuh Yesus.

[Gambas:Video CNN]

Konflik kebatinan Yudas disoroti begitu dalam dengan menghadirkan Setan (Ahmed Hammoud) yang menampakkan diri kepadanya sebagai ular sambil mengucapkan kata-kata yang menggoda kepada Yudas.

Adegan-adegan tersebut menghadirkan sedikit unsur eerie dalam film ini bak tontonan horor ringan.

Keresahan Yudas pula yang kemudian berdampak ke Petrus dengan segala upaya manusianya melindungi Yesus, terutama setelah menyadari Gurunya dipantau Kayafas usai mengusir semua pedagang dan orang yang berjual beli di halaman Bait Allah.

Di sisi lain, ketegangan di antara Petrus dan Yudas dinetralisasikan melalui kehadiran dan celetukan-celetukan Yohanes (Charlie MacGechan) si murid yang menyenangkan.

Bak judulnya, The Last Supper, film ini lebih banyak mengambil Perjamuan Terakhir sebagai latar waktu yang dalam penceritaan.

Penonton disajikan dua kisah yang terjadi dalam satu waktu bersamaan.

Pertama, Yesus bersama 12 murid di kamar loteng, mengikuti ritual Paskah Yahudi, membagikan roti dan anggur, tapi Ia mengubah doa-doa yang menjadi pertanyaan bagi para murid.

Ia sebelumnya juga membasuh kaki ke-12 murid, termasuk Yudas Iskariot, sebagai tanda kerendahan hati yang sangat bisa menjadi salah satu adegan paling berkesan dalam film tersebut.

Sedangkan di lantai bawah, satu keluarga turut makan malam jelang Paskah sebagai bentuk adat istiadat peringatan atas keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir dengan roti tak beragi dan sayur pahit di atas meja makan mereka.

Dengan penceritaan sangat sederhana, film ini berusaha menghubungkan Perjamuan Terakhir dan Kebangkitan dengan efektif. Penderitaan Yesus dibahas secara ringkas, dan hanya melalui kilas balik singkat.

Film The Last Supper (2025). (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)Review The Last Supper (2025): Film ini bisa jadi opsi tontonan Prapaskah bagi yang tidak ingin melihat adegan penyiksaan penyaliban Yesus. (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)

The Last Supper tidak menunjukkan penyaliban secara detail dan eksplisit, tetapi memang masih ada beberapa adegan Yesus dicambuk. Sebagai catatan, film ini menggambarkan detail Yudas Iskariot yang meninggal karena bunuh diri.

Namun memang ada sedikit catatan untuk film ini, murid Yesus yang lain dihadirkan hanya sebagai pelengkap. Mereka cuma muncul saat Perjamuan Terakhir, minim pula dialog dengan Petrus, Yudas, Yohanes, bahkan Yesus.

Pontius Pilatus, pejabat Romawi, yang sesungguhnya memimpin pengadilan Yesus juga tak ada dalam film tersebut.

Meskipun scoop kisah yang ditampilkan sederhana, tak bisa dipungkiri film yang memiliki durasi 1 jam 54 menit ini terasa lambat dan begitu hambar imbas dalam skenarionya.

Sehingga, film ini kurang memiliki kekuatan emosional dalam penceritaannya.

Film The Last Supper (2025). (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)Review The Last Supper (2025): Karakter Petrus dan konflik dengan Kayafas menjadi 'napas' film ini. (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)

Karakter Yesus yang diperankan Jamie Ward juga tidak meninggalkan kesan kuat apabila film ini memang difokuskan kepada kisah Yesus. Sebab, karakternya malah dengan mudah tertutupi dengan penampilan dua muridnya, Petrus dan Yudas.

Penampilan Wheatley sebagai Petrus, serta Knepper sebagai Yudas, begitu menonjol dan sangat bisa untuk refleksi diri bagi penonton melalui sikap, keputusan, serta gejolak batin mereka.

Robert Knepper sebagai Yudas Iskariot dalam film The Last Supper (2025). (Pinnacle Peak Pictures)Review The Last Supper (2025): Robert Knepper menggambarkan kegundahan Yudas Iskariot jelang pengkhianatan terhadap Yesus dengan amat baik. (Pinnacle Peak Pictures)

Secara keseluruhan, The Last Supper memiliki visual yang mumpuni dalam mendukung penggambaran kisah dalam Alkitab, meski secara penceritaan dan penokohan masih banyak catatan.

Pengenalan dan pendalaman Alkitab setiap pribadi dapat membantu menentukan apresiasi masing-masing penonton terhadap film ini, termasuk kesadaran atas bagian-bagian mana film Borrelli yang jadi interpretasi sendiri dari kisah Alkitab.

The Last Supper bisa menjadi opsi tontonan Prapaskah bagi mereka yang tidak ingin melihat adegan-adegan penyiksaan penyaliban Yesus.

[Gambas:Youtube]

(chri/chri)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi