Review film: The Substance mampu bawa penonton ke tragedi tentang identitas, kecantikan, dan obsesi manusia melawan penuaan dengan cara distopia dan psikologis.
Jakarta, CNN Indonesia --
The Substance membuat saya berpikir, bagaimana kalau sebenarnya kecantikan itu sejatinya tak pernah berbentuk? Bagaimana kalau "cantik" itu cuma suatu persepsi yang sangat cair dan subjektif?
Sutradara perempuan Prancis, Coralie Fargeat menyindir habis bagaimana masyarakat dan industri memandang perempuan sebagai individu yang "unfungsional" saat memasuki usia tertentu. Bukan karena tak bisa lagi bekerja, tapi karena kulitnya tak semulus saat mereka berusia 20-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gejolak batin dan tekanan struktural mendorong Elizabeth (Demi Moore) dengan berani mengambil tindakan nekat mencoba zat asing bernama The Substance demi bisa cantik dan dicintai sejatinya menggambarkan hasrat dalam banyak orang.
Sejatinya tak cuma Elizabeth, setiap dari kita juga selalu ingin dicintai. Sigmund Freud bilang, itu bukan cuma keinginan, tapi kebutuhan. Manusia secara alami mencari cinta dan pengakuan sebagai bagian dari naluri untuk bertahan hidup dan berkembang.
Hal ini juga yang membuat saya curiga bahwa segala hal gila yang dilakukan dan terjadi pada Elizabeth sebenarnya bukan untuk meraih kecantikan itu sendiri. Melainkan, sekadar ingin dicintai, oleh dirinya sendiri dan juga orang lain.
Namun celakanya, bila kebutuhan diri sendiri belum terpenuhi, terkadang ada harga yang harus dibayar akibat kehilangan kontrol demi memuaskan hasrat tersebut.
Fargeat menampilkan 'bayaran' itu lewat adegan demi adegan yang mampu membuat napas tertahan, dalam menyoroti obsesi atas kecantikan dan hasrat untuk dicintai.
Fargeat juga menampilkan, obsesi tersebut bahkan mampu mengasingkan seseorang dari jati dirinya yang sebenarnya, serta mengaburkan batas antara otentik dan prostetis nan destruktif.
Alur film The Substance yang dibuat Fargeat mampu membawa penonton ke dalam tragedi tentang identitas, kecantikan, dan obsesi manusia untuk melawan penuaan dengan cara mengeksplorasi tema distopia dan psikologi.
Fargeat juga menampilkan spiral kejatuhan mereka yang tak memiliki kendali penuh atas hidupnya sendiri, terjebak dalam labirin tak berujung hanya atas nama citra kesempurnaan.
Review The Substance: Demi Moore cemerlang menampilkan perjalanan psikologis Elizabeth yang kompleks dan penuh ketegangan emosional. (dok. Working Title Films/A Good Story/Blacksmith via IMDb)
Begitu juga Fargeat mengolok masyarakat yang cenderung lebih menghargai tampilan luar dibanding nilai atau karakter yang ada dalam sebuah insan.
Pesan-pesan tersebut ditampilkan Fargeat dengan cara yang ekstrem sepanjang perjalanan psikologis Elizabeth yang kompleks dalam The Substance. Temponya halus, tapi penuh ketegangan emosional. Serta ditampilkan dengan cemerlang oleh Demi Moore.
Tak lupa, The Substance dengan cerdas menyoroti bahwa dalam masyarakat modern, kecantikan sering kali menjadi sekadar komoditas yang diciptakan oleh kekuatan sosial dan ekonomi.
Publik dan industri modern seringkali lupa bahwa perempuan bukan produk, melainkan manusia. Yang dalam proses kehidupannya mengalami penuaan, serta perubahan bentuk tubuh yang alamiah.
Film ini sangat layak untuk ditonton karena akan menantang pemikiran atas apa yang dianggap "cantik" dan dengan gamblang menunjukkan obsesi terhadap kecantikan luar sejatinya bisa merusak identitas dan nilai diri individu dalam kehidupannya.
Tak hanya terpantik, penonton juga bakal dibuat gelisah oleh The Substance karena visualnya yang amat menggoncang isi perut dan kenyamanan duduk selama 141 menit film ini ditayangkan, bila tidak terkena sensor.
Namun jika tidak memiliki ketahanan akan adegan disturbing dan semburan darah ke berbagai arah, sebaiknya pikirkan ulang menonton The Substance, atau tutup lah mata sebelum isi perut keluar.
(Vera Safitri/end)