Skandal Pagar Laut di Tangerang, Negara Terlibat atau Absen?

1 day ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Pagar laut misterius membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, menembus 16 desa di 6 kecamatan. Keberadaan pagar laut berupa patok-patok bambu itu sebetulnya sudah dilaporkan dan diketahui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten pada Agustus 2024.

Saat itu, pagar laut baru terpancang sejauh 7 kilometer. DKP kemudian melakukan empat kali investigasi, bahkan melibatkan TNI AL, Polairud Polresta Tangerang, hingga Satpol PP. Namun, seakan tidak berdaya, pagar misterius justru terus bertambah panjang hingga akhirnya mencapai 30 kilometer.

Pagar laut itu baru jadi perhatian setelah foto-fotonya viral di media sosial. Namun, pemerintah mengaku tidak tahu asal-usul pagar laut itu. Baru belakangan Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono memilih menyegel pagar laut itu dan menyatakan tak berizin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bertalian dengan itu, TNI AL mulai membongkar pagar bambu itu pada Sabtu (18/1) setelah mengaku mendapatkan perintah khusus dari Presiden Prabowo Subianto.

Pembongkaran sempat dihentikan pada Minggu (19/1) dengan alasan proses evaluasi alat oleh TNI AL. Di sisi lain, aksi itu disayangkan oleh KKP karena dinilai justru merusak barang bukti.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai kemunculan pagar laut misterius itu menjadi tanda lemahnya pengawasan dari pemerintah baik di tingkat pusat hingga daerah.

"Pagar-pagar ini memang dibangun sejak era pemerintahan sebelumnya dan dibiarkan berkembang," kata Trubus saat diwawancara, Senin (20/1).

Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa selama ini pemerintah hanya fokus untuk mengambil pajak dan retribusi dari nelayan. Sementara itu tak ada perlindungan dan penjaminan terhadap hak-hak nelayan yang menggantungkan hidup di laut.

"Pemerintah lebih fokus pada aspek pajak dan retribusi, sementara persoalan lingkungan dan kesejahteraan nelayan kurang mendapatkan perhatian," tuturnya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani menilai berdirinya pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang tak cuma wujud nihilnya kehadiran negara,

Ia justru mengaku curiga ada keterlibatan lembaga atau instansi pemerintah dalam pembangunan pagar laut tersebut. Sebab, dari pengecekan di lapangan, pagar itu juga terlihat seperti kavling-kavling selayaknya tanah di daratan.

"Ini bukan negara tidak berdaya, negara justru menjadi bagian dari pelaku. Dari awal kami sudah katakan, ketika turun ke lapangan, ini sudah ada kavling-kavlingan," ucap Julius.

Kecurigaan itu, kata dia, semakin diperkuat ketika didapatkan informasi ternyata Kementerian ATR/BPN juga telah mengeluarkan surat Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah yang berada dalam pagar laut tersebut.

"Ini seperti kavling tanah, perumahan, ada apa dengan Kementerian ATR/BPN. Terbukti kemudian terbit sebuah sertifikat dengan luas tiga juta meter persegi," jelasnya.

Ia juga mempertanyakan langkah TNI AL yang baru membongkar pagar laut itu setelah ramai di publik. Padahal, kata dia, letak pagar laut tersebut tidak jauh dari markas Lantamal III.

Julius menilai tidak mungkin TNI AL tidak mengetahui pembangunan pagar laut itu. Apalagi, wilayah itu seharusnya juga masuk dalam daerah operasi pengamanan atau pengawasan TNI AL.

"Kalau kita lihat ada pangkalan TNI AL dan oleh karenanya juga TNI AL yang duluan mencabut. Padahal tidak mungkin TNI AL tidak tahu. Tidak mungkin TNI AL tidak monitor apa yang terjadi di situ," tuturnya.

Desak proses pidana

Julius mendorong Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin segera memproses pidana kasus pagar laut itu.

Ia juga meminta kepolisian dan kejaksaan tidak pandang bulu dan menangkap seluruh aktor yang terlibat. Termasuk jika memang ditemukan adanya keterlibatan menteri atau kepala badan terkait.

"Tolong tangkap orang-orang ini dan apabila menteri yang terlibat, tangkap juga. Karena ini bukan perkara sederhana, ini perkara kedaulatan negara," kata Julius.

"Bahaya sekali apabila laut kita dirampok secara kasar seperti ini. Secara halus saja sudah bahaya apalagi secara kasar seperti ini," imbuhnya.

Julius menilai unsur pelanggaran pidana sudah terpenuhi lantaran tidak ada satupun instansi yang menerima atau menerbitkan izin terkait pembangunan pagar laut.

Karenanya, ia mengatakan secara administrasi bangunan pagar laut itu ilegal dan menjadi salah satu bentuk pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas hingga ke pengadilan.

"Secara administrasi dia ilegal, maka pemasangan pagar laut itu adalah sebuah bentuk pelanggaran sekaligus kejahatan hukum," tuturnya.

"Misal membangun rumah di atas tanah negara di Stadion GBK, itu bukan hanya otomatis dibongkar, tapi bisa masuk penjara. Posisinya seperti itu, sama-sama tanah negara," sambungnya.

Lebih lanjut, Julius menilai bukan tidak mungkin telah terjadi kejahatan ekonomi dan lingkungan lewat aksi pemagaran laut itu. Pasalnya, kata dia, kehadiran pagar laut membuat nelayan yang ada di wilayah pesisir jadi sulit mencari ikan.

Senada, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mendesak pelaku pemagaran laut diproses pidana. Ia menegaskan pelaku tidak cukup sebatas ganti rugi saja.

"Pembangunan ini ilegal dan tak ada izinnya, pihak yang membangun pagar ini harus dipidanakan. Pemerintah harus tegas memproses hukum sampai ke pengadilan," tuturnya.

Fickar mengatakan penegakan pidana penting dilakukan pemerintah agar hal serupa tidak kembali terulang di wilayah pesisir manapun. Ia menuturkan pantai adalah wilayah publik yang penggunaannya untuk kepentingan umum sebagai lalu lintas pelayaran dan tempat nelayan mencari nafkah.

(tfq/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi