Jakarta, CNN Indonesia --
Tim hukum Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan, membuka peluang mengajukan Praperadilan lagi usai hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Djuyamto menyatakan tidak dapat menerima permohonan tersebut.
"Itu salah satu di antaranya yang kami pertimbangkan, tapi ini juga tergantung Mas Hasto," ujar tim hukum Hasto, Maqdir Ismail, di PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2) petang.
Menurut mereka, putusan Praperadilan yang dibacakan hari ini bukan akhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"This is not the end. Penegakan hukum dan keadilan adalah kewajiban yang ada pada pundak kita semua," ucap tim hukum Hasto yang lain, Todung Mulya Lubis.
Tim hukum Hasto lainnya, Todung Mulya Lubis menyatakan kecewa dengan putusan Praperadilan yang baru saja dibacakan hakim.
Todung menyebut putusan hakim dangkal dan sebagai pembodohan hukum.
"Kami harus mengatakan bahwa kami kecewa dengan putusan Praperadilan yang dibacakan dan saudara-saudara sudah mendengarkan saksama. Kami mengharapkan satu putusan dengan pertimbangan hukum, dengan legal reasoning yang bisa menyakinkan kita semua bahwa permohonan Praperadilan itu tidak diterima, tetapi kami sangat menyayangkan bahwa kami tidak menemukan pertimbangan hukum yang diyakinkan untuk bisa memahami kenapa Praperadilan itu tidak diterima," ujar Todung.
Tofung menganggap putusan Praperadilan tersebut sebagai kesalahan hukum atau miscarriage of justice.
"Kita datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menguji abuse of power, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh KPK karena sangat telanjang di depan mata kita pelanggaran itu dilakukan," imbuhnya.
"Ini bukan pendidikan hukum, ini pembodohan hukum. Saya harus katakan demikian. Sdr Maqdir, saya, sdr Ronny dan lain lain itu sdh praktik hukum puluhan tahun, kita tidak mengharapkan putusan dangkal semacam ini," kata Todung.
Sementara itu, tim hukum Hasto lainnya yakni Maqdir Ismail mempertanyakan dasar hukum yang melarang pemohon menguji status tersangka di dua tindak pidana berbeda.
"Saya kira pertanyaan pokok yang sebenarnya harus kita ajukan kepada hakim tunggal ini apakah di dalam proses Praperadilan itu ada larangan yang secara hukum bisa melarang orang menguji dua penetapan tersangka dalam satu permohonan," kata Maqdir.
Sebab, ia menjelaskan dalam praktik pidana dikenal dengan teori penggabungan perkara.
"Artinya apa, permohonan ini kalau misal memang mau dinyatakan tidak dapat diterima karena katakanlah alat buktinya tidak cukup, saya kira mestinya itu yang dijadikan dasar di dalam pertimbangan-pertimbangan," tandasnya.
Dalam persidangan yang terbuka untuk umum, Kamis (13/2), hakim tunggal Djuyamto menyatakan tidak menerima permohonan Praperadilan Hasto yang mempermasalahkan penetapan tersangka di kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan.
Menurut hakim, seharusnya permohonan dibuat secara terpisah.
"Mengadili: Menyatakan permohonan oleh pemohon kabur atau tidak jelas. Menyatakan permohonan Praperadilan pemohon tidak dapat diterima," ucap hakim.
Hasto bersama Advokat PDIP Donny Tri Istiqomah ditetapkan KPK sebagai tersangka pada akhir tahun kemarin. Keduanya diduga terlibat dalam tindak pidana suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk kepentingan penetapan PAW anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku (buron).
Hasto dan Donny belum dilakukan penahanan oleh KPK.
Selain Harun, Hasto disebut KPK juga mengurus PAW anggota DPR RI periode 2019-2024 daerah pemilihan (dapil) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) Maria Lestari.
Selain suap, Hasto juga dikenakan Pasal perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Atas dasar itu ia mengajukan Praperadilan ke PN Jakarta Selatan.
(ryn/gil)