Wacana Libur Sekolah saat Ramadan Harus Pertimbangkan Inklusivitas

4 days ago 9

Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar melempar wacana meliburkan sekolah selama satu bulan penuh saat bulan suci Ramadan. Ia mengatakan esensi Ramadan bagi umat Islam adalah untuk beribadah.

Menurut Nasarrudin, dengan libur selama satu bulan penuh, peserta didik dapat meningkatkan berkonsentrasi mengaji, menghafal Alquran, mengamalkan amalan-amalan sosial Agama Islam, hingga berkumpul dengan keluarga.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tak setuju dengan wacana libur sekolah selama puasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia berpendapat libur selama 40 hari terlalu lama. Selain itu, kata dia, bulan Ramadan bukan halangan untuk beraktivitas seperti biasa.

"Saya kira tidak perlu ya. Karena libur Ramadan itu belum jelas konsepnya. Tidak perlu (libur), tetap saja jalan, puasa tidak menghentikan semua (kegiatan)," kata Cak Imin di Jakarta, Sabtu, dikutip dari Antara.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti pun mengatakan pemerintah belum membahas mengenai wacana libur sekolah selama bulan puasa.

Merespons wacana itu, Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf menilai libur sekolah selama Ramadan selama ini belum menemukan model yang jelas. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan model yang jelas terlebih dulu.

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mendukung hal ini. Namun menurutnya, bukan berarti anak-anak tak belajar jika sekolah diliburkan.

Perlunya peran guru dan inklusivitas

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, menyatakan wacana ini sebetulnya memiliki niat baik karena mendorong peserta didik untuk lebih khusyuk dalam beribadah.

Namun, praktiknya bisa berlaku lain. Ia mempertanyakan siapa yang akan membimbing peserta didik jika mereka diliburkan penuh selama bulan Ramadan. Ia mengatakan orang tua belum tentu bisa sepenuhnya hadir di rumah, apalagi jika keduanya bekerja.

"Dalam kaitan Ramadan, niat baik untuk mendorong anak didik lebih khusyuk beribadah itu bagus, tapi mesti diuji dalam praktiknya. Kalau libur, siapa yang akan membimbing mereka? Orang tua pasti banyak yang sibuk mencari nafkah, bahkan termasuk para ibu," kata Totok kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/1).

Totok berpendapat peserta didik akan lebih terbimbing jika tetap ada sekolah. Menurutnya, penyerapan ilmu dan praktik nilai keagamaan bisa lebih terarah.

Menurutnya, selama bulan puasa pemerintah bisa mengarahkan sekolah untuk melakukan aktivitas padat rohani tanpa mengesampingkan proses belajar lainnya secara umum.

Bertalian dengan itu, kata Totok, guru perlu punya kreativitas untuk menyisipkan ajaran agama dalam setiap proses belajar mengajar.

"Jadikan kegiatan riil dan bermakna, guru tidak hanya khotbah. Kalau gurunya keren, bisa memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam ajaran agama," ucap dia.

Totok juga menjelaskan bahwa ibadah puasa merupakan ajang pembelajaran bagi peserta didik untuk menjalani kegiatan seperti biasa, termasuk sekolah. Puasa Ramadan bukan alasan untuk bermalas-malasan.

"Ada keringanan tapi bukan menjadi excuse untuk tidak kerja apapun. Kalau tidak tahan terhadap ujian atau godaan, dapatnya hanya ritual puasa saja secara fisik," ujarnya.

Selain itu, lanjut Totok, pemerintah juga perlu mempertimbangkan prinsip inklusivitas terkait wacana ini. Di sekolah-sekolah negeri khususnya, peserta didik tak hanya beragama Islam.

Menurutnya, sangat disayangkan jika murid nonmuslim juga libur selama satu bulan penuh.

"Menurut riset, ada kegiatan sekolah saja anak didik kita masih minim belajarnya. Schooling with limited learning. Apalagi tidak ada sekolah," ucap dia.

Skema alternatif

Sementara itu, pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Suyanto menawarkan skema lainnya, yakni peserta didik tidak libur secara penuh di bulan puasa. Suyanto menuturkan siswa bisa diliburkan pada satu pekan awal Ramadan dan sepekan terakhir jelang hari raya Idul Fitri.

"Anak-anak tetap berada di sekolah. Mungkin bisa satu minggu di awal puasa dan satu minggu menjelang hari raya," ujar Suyanto saat diwawancara.

Dewan Pakar Majelis Dikdasmen PNF PP Muhammadiyah itu berpendapat skema tersebut takkan mengorbankan momen kedekatan antara murid dengan keluarganya dan juga tetap menjaga kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Ia pun menyarankan waktu masuk sekolah diundur selama 30 menit dari jadwal biasanya lantaran murid yang beragama Islam harus menjalani sahur.

"Dengan mengambil satu minggu awal puasa dan satu minggu menjelang lebaran anak-anak bisa dekat dengan keluarga dan juga masih tetap menjaga kegiatan belajar di sekolah," ucap Suyanto.

Ia pun menyebut tidak semua keluarga siap memberikan pendidikan ke anak-anak mereka jika diliburkan secara penuh saat bulan puasa.

(mnf/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi