Aset Properti KBRI di Prancis Terancam Disita Terkait Kasus Navayo

4 days ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Aset properti milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris berpotensi disita sebagai bentuk eksekusi putusan arbitrase oleh perusahaan satelit swasta Navayo International AG.

Pemerintah akan menyelesaikan kasus tersebut secara komprehensif agar tidak merugikan Indonesia di mata internasional. Namun, karena ada temuan dugaan wanprestasi, pemerintah juga mengancam balik Navayo untuk dijadikan tersangka secara pidana.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam konferensi pers usai rapat koordinasi dengan Kementerian Pertahanan, Kamis (20/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Turut mendampingi Yusril ialah Wakil Menteri Koordinator Kumham Imipas Otto Hasibuan, Wakil Menteri Polkam Lodewijk Freidrich Paulus, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Narendra Jatna, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, serta perwakilan dari Kementerian Pertahanan, BPKP, Kementerian Keuangan, Deputi Bidang Koordinasi Hukum Nofli, serta para staf ahli dan staf khusus Kemenko Kumham Imipas.

"Di dalam persidangan dispute mengenai masalah pengadaan bagian-bagian dari satelit Kementerian Pertahanan pada tahun 2016, oleh Arbitrasi Singapura kita dikalahkan dan kita harus membayar sejumlah utang atau ganti rugi kepada pihak Navayo," ujar Yusril.

"Dan sekian lama masalah ini dirundingkan berlarut-larut, sampai akhirnya Navayo mengajukan permohonan kepada Pengadilan Prancis untuk mengeksekusi putusan dari Arbitrasi Singapura dan meminta untuk dilakukan penyitaan terhadap beberapa aset pemerintahan Republik Indonesia yang ada di Prancis," imbuhnya.

Yusril memandang hal tersebut sebagai persoalan yang sangat serius. Indonesia, kata dia, menghormati putusan pengadilan meskipun mempunyai alasan kuat untuk menghambat pelaksanaannya.

"Kita ingin melakukan upaya untuk menghambat proses pelaksanaan eksekusi atau penyitaan terhadap aset pemerintahan Republik Indonesia yang ada di Prancis karena itu menyalahi Konvensi WINA untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun," ungkap Yusril.

"Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh Pengadilan Prancis, tapi pihak kita tetap akan melakukan satu upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi," sambungnya.

Navayo International AG adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum negara Liechtenstein dan berkedudukan di Eschen, Liechtenstein. Pada tahun 2015, Kementerian Pertahanan RI berencana membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur yang kosong setelah Satelit Garuda-1 tidak berfungsi

Untuk itu, Kemhan menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan, termasuk Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat, dalam kurun waktu 2015-2016.

Akibat anggaran tidak tersedia, proyek Satkomhan tidak dapat dilanjutkan, dan Kemhan tidak memenuhi kewajibannya kepada Navayo sesuai kontrak.

Pada 22 November 2018, Navayo mengajukan gugatan di ICC Singapura senilai US$23,4 juta. Pada 22 April 2021, ICC Singapura memutuskan bahwa Kemhan RI wajib membayar US$16 juta kepada Navayo beserta biaya arbitrase. Jika tidak dipenuhi, aset Indonesia di Prancis berpotensi disita sebagai bentuk eksekusi putusan arbitrase.

Guna mencegah dampak lebih luas, terang Yusril, pemerintah menyiapkan strategi mitigasi risiko untuk menghindari kasus serupa di masa depan.

Di samping itu, proses hukum terhadap Navayo International AG akan terus dilanjutkan, terutama karena audit BPKP menunjukkan nilai pekerjaan satelit yang dikerjakan Navayo jauh lebih kecil dari nilai kontrak, hanya sekitar Rp1,9 miliar dari total kontrak Rp306 miliar.

"Dalam rapat ini kita sepakati bahwa kalau memang sudah cukup alasan untuk menyatakan mereka sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan pendahuluan yang sudah ada sekarang ini, maka ya lebih baik dinyatakan sebagai tersangka dan kita minta kepada Interpol untuk mengejar yang bersangkutan agar ditangkap dan dibawa ke Indonesia untuk diadili dalam kasus korupsi," ucap Yusril.

Dia pun mengimbau seluruh kementerian dan lembaga untuk lebih berhati-hati dalam menyusun kontrak internasional dengan memastikan konsultasi terlebih dahulu dengan Kemenko Kumham Imipas dan Kementerian Hukum guna menghindari kasus serupa hingga melibatkan Pengadilan Internasional.

Selain itu, untuk memastikan penyelesaian kasus ini berjalan efektif, pemerintah juga akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum, Nofli.

"Penyelesaian yang transparan, adil, serta berlandaskan prinsip hukum yang kuat menjadi prioritas utama dalam menghadapi kasus Navayo," ucap Yusril.

(ryn/gil)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi