Jakarta, CNN Indonesia --
Deinosuchus, seekor reptil purba raksasa yang dulu memangsa dinosaurus punya moncong lebar seperti aligator. Yang membuatnya berbeda dan menjadi unggul dibanding buaya adalah kemampuannya bertahan hidup di air asin.
Deinosuchus berasal dari bahasa Yunani, di mana deinos berarti mengerikan atau menakutkan, dan suchos berarti buaya. Jadi, secara harfiah, Deinosuchus berarti buaya yang menakutkan.
Deinosuchus memiliki panjang tubuh seperti bus dan gigi sebesar pisang. Hewan ini hidup sekitar 75 sampai 82 juta tahun lalu dan tinggal di sungai serta rawa-rawa di Amerika Utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepalanya lebar dan panjang, dengan tonjolan bulat di ujungnya, berbeda dari aligator lain. Bekas gigitan pada tulang dinosaurus jadi indikasi bahwa Deinosuchus pernah memangsa mereka.
Deinosuchus bukan kerabat buaya
Penting diketahui bahwa buaya dan aligator memiliki nenek moyang evolusioner yang sama, yaitu ordo crocodylia. Namun, sekitar 80 juta tahun lalu, selama periode Kapur Akhir, mereka menyimpang dan melanjutkan evolusi masing-masing.
Ordo ini pada dasarnya memiliki sifat toleran terhadap air asin. Namun, hanya buaya yang mewarisi sifat ini, sementara aligator tidak.
Meski nama Deinosuchus dapat diartikan dengan "buaya teror", Deinosuchus sering disebut sebagai "aligator raksasa", Hasil penelitian terbaru terhadap fosil dan DNA buaya modern menunjukkan bahwa Deinosuchus punya garis keturunan yang berbeda.
Deinosuchus adalah bagian ordo crocodylia besar yang lebih dekat kerabatnya dengan aligator dan kaiman, bukan buaya modern. Deinosuchus tetap termasuk dalam superfamili Alligatoroidea, yang juga mencakup aligator dan kaiman.
Tetapi tak seperti aligator dan kerabatnya, Deinosuchus memiliki kelenjar garam aktif yang diwarisi dari leluhur purba, sehingga ia mampu hidup di air asin. Buaya modern juga punya kelenjar serupa, yang digunakan untuk mengeluarkan kelebihan garam dari tubuhnya.
Kemampuan ini membantu Deinosuchus berenang melewati Laut Pedalaman Barat yang dulu membelah Amerika Utara saat permukaan laut sedang naik karena iklim global menghangat. Akibatnya, hewan ini bisa menyebar ke banyak daerah dan hidup di rawa-rawa di kedua sisi benua dan sepanjang pantai Atlantik.
Penelitian baru ini memberi pandangan baru tentang bagaimana ordo crocodylia berevolusi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Ini juga menjelaskan kenapa beberapa spesies bisa bertahan saat kondisi lingkungan berubah, sementara yang lain punah.
Karena bisa hidup di air asin, Deinosuchus bisa menjelajah wilayah yang tidak bisa dicapai hewan air asin lainnya. Ia pun berkembang menjadi pemangsa besar yang menguasai rawa-rawa dan bisa memangsa hewan apa saja.
"Tidak ada yang aman di wilayah rawa saat Deinosuchus masih ada. Hewan ini benar-benar mengerikan. Panjangnya bisa lebih dari 8 meter," ujar penulis utama studi, Dr. Márton Rabi dari Institute of Geosciences, University of Tübingen, Jerman, dikutip dari CNN, Jumat (25/4).
Sebuah anomali di antara aligator umumnya
Sejak pertengahan abad ke-19, fosil Deinosuchus ditemukan di banyak lokasi di dua sisi laut purba, dan diketahui terdiri dari dua spesies. Spesies paling besar, Deinosuchus riograndensis, tinggal di wilayah barat yang dulunya bernama Laramidia.
Laramidia adalah daratan di sebelah timur Samudra Pasifik yang hanya mencakup sepertiga wilayah Amerika Utara. Wilayah lainnya disebut Appalachia.
Walau Deinosuchus dianggap kerabat aligator, keberadaannya di dua sisi laut purba jadi misteri. Kalau hewan ini termasuk kelompok aligator yang hanya bisa hidup di air tawar, bagaimana mungkin dia menyeberangi lautan sejauh 1.000 kilometer?
Ada dugaan aligator purba dulu bisa hidup di air asin, tapi kemudian kehilangan kemampuan itu. Tapi menurut Rabi, teori ini lemah karena tidak ada cukup bukti dan hanya berdasarkan asumsi silsilah.
Teori lain menyebut Deinosuchus hidup di seluruh benua sebelum laut purba terbentuk dan membelah daratan. Namun fosil tertua Deinosuchus baru muncul 20 juta tahun setelah laut itu terbentuk, jadi teori ini juga diragukan.
"Gambaran ini belum pas," kata Rabi.
Dalam studi ini, peneliti menyertakan fosil-fosil yang sebelumnya belum digunakan dalam pohon keluarga ordo crocodylia. Fosil-fosil baru ini membantu menghubungkan spesies yang dulunya dianggap tidak saling terkait.
"Hasil analisis kami menunjukkan bahwa kemampuan hidup di air asin ternyata sudah dimiliki banyak buaya purba, dan baru hilang pada aligator," jelas Rabi.
Menurut Dr. Evon Hekkala dari Fordham University yang tidak ikut riset ini, kemampuan ini sangat berguna di masa lalu saat lingkungan berubah drastis.
"Sifat ini memungkinkan buaya masa lalu bertahan saat kondisi berubah, misalnya saat permukaan laut naik dan banyak spesies lain punah," kata Hekkala.
Pola ukuran yang berbeda
Tim peneliti juga membuat ulang silsilah buaya berdasarkan data genetik dari buaya masa kini untuk memahami ciri-ciri kelompok aligator. Mereka menemukan bahwa buaya pertama jauh lebih kecil dibanding buaya modern saat ini.
Buaya baru mulai tumbuh besar sekitar 34 juta tahun lalu setelah iklim mendingin dan banyak saingannya punah. Saat buaya modern muncul, Deinosuchus sudah ada dengan ukuran tubuh yang sangat besar.
Ukuran kecil pada buaya purba memberi petunjuk bahwa Deinosuchus tidak berasal dari kelompok buaya modern. Rabi mengatakan, hewan ini kemungkinan berasal dari cabang berbeda dalam pohon keluarga buaya.
Meski Deinosuchus termasuk bagian ordo crocodylia terbesar, ia bukan satu-satunya yang tumbuh raksasa. Spesies ordo crocodylia berukuran besar ternyata sudah muncul berkali-kali secara terpisah di berbagai masa dan lingkungan dalam 120 juta tahun terakhir.
(job/mik)