Duduk Perkara Kasus Pengadaan Chromebook Rp9,9 T di Era Nadiem

1 day ago 7

Jakarta, CNN Indonesia --

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan laptop berbasis Chrome OS atau Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada periode 2019-2023. Saat itu, Nadiem Makarim yang menakhodai kementerian tersebut.

Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan sejak Selasa, (20/5), sebagaimana dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar.

"Meningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan dalam dugaan tindak pidana korupsi pada Kemendikbud Ristek dalam pengadaan digitalisasi pendidikan tahun 2019-2023," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (26/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam proses penyidikan, Kejagung menemukan indikasi kuat adanya pemufakatan jahat melalui pengarahan khusus kepada tim teknis agar menyusun kajian pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berupa laptop berbasis Chrome OS.

Harli menyebut kajian tersebut seolah-olah dibuat untuk mendukung kebutuhan teknologi pendidikan, padahal hasil uji coba pada 2019 menunjukkan sebaliknya.

Kejagung menduga keputusan tersebut tidak dilandasi kebutuhan faktual melainkan atas dasar pemaksaan kebijakan yang sarat kepentingan. Total anggaran yang dihabiskan untuk pengadaan ini tercatat sebesar Rp9,982 triliun. Dana tersebut berasal dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) sebesar Rp3,582 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sekitar Rp6,399 triliun.

"Kenapa tidak efektif, karena kita tahu bahwa dia berbasis internet, sementara di Indonesia internetnya itu belum semua sama," jelas Harli.

Total anggaran proyek ini mencapai Rp9,9 triliun, terdiri dari Rp3,58 triliun yang berasal dari dana di Satuan Pendidikan dan Rp6,399 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, hingga kini Kejagung masih menghitung secara pasti nilai kerugian negara akibat kasus ini.

Penyidikan juga melibatkan peran sejumlah staf khusus (stafsus) Menteri Nadiem Makarim. di antaranya, Fiona Handayani, Juris Stan, dan Ibrahim yang merangkap sebagai tim teknis. Penggeledahan telah dilakukan di apartemen masing-masing mantan stafsus tersebut dan menyita beberapa barang bukti elektronik, seperti ponsel, laptop, hingga penyimpanan hardisk. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus telah memeriksa Fiona Handayani dan Juris Stan.

"Tentu sebagai Stafsus maka dari informasi yang diperoleh penyidik dari dokumen bahwa yang bersangkutan memiliki peran juga dalam dugaan perkara ini," ujar Harli kepada wartawan, Rabu (28/5).

Tak hanya itu, Kejagung telah memeriksa 26 saksi lainnya dan mencekal tiga mantan stafsus Mendikbudristek tersebut pada Kamis (6/6). Pencekalan dilakukan karena ketiganya tidak hadir dalam panggilan pemeriksaan sebelumnya.

"Sudah dijadwalkan, tetapi tiga orang ini tidak hadir dalam pemeriksaan yang sudah dijadwalkan kemarin dan 2 hari yang lalu," kata Harli.

Ia menegaskan bahwa pencekalan bertujuan agar mereka dapat memberikan keterangan lebih lanjut dalam proses penyidikan.

Sementara itu, menanggapi penyidikan pengadaan laptop ini, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq menyatakan bahwa program pengadaan laptop tersebut sudah tidak lagi berjalan sejak pergantian menteri.

"Kami menghormati proses yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung," kata Fajar, Rabu (28/5).

"Itu sudah berhenti di era Menteri yang sebelumnya. Sekarang kita sudah fokus dengan bidang-bidang yang lain," lanjutnya.

Sementara itu, Kejagung membantah kabar bahwa Nadiem Makarim telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

"Wah, itu tidak benar. Saya kira berita itu tidak terkonfirmasi dengan baik ya. Jadi tidak benar, karena saya sudah cek ke penyidik, yang bersangkutan belum dipanggil dalam proses penyidikan ini, apalagi DPO," tegas Harli, Senin (2/6).

Harli juga menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada jadwal pemanggilan terhadap mantan Mendikbudristek tersebut.

Indonesia Corruption Watch (ICW) ikut menyoroti berbagai kejanggalan dalam pengadaan Chromebook. Mereka menilai program ini tidak berdasarkan kebutuhan sekolah dan menyalahi prinsip penyusunan anggaran berbasis usulan dari bawah (bottom-up).

"Pencairan DAK juga harus melampirkan daftar sekolah penerima bantuan, sedangkan saat itu tak jelas bagaimana dan kepada sekolah mana laptop akan didistribusikan," ujar Almas Sjafrina dari ICW, Jumat (6/6).

ICW juga mengkritisi ketidakterbukaan proses karena pengadaan tak tercantum dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Spesifikasi yang mewajibkan sistem operasi Chromebook dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dinilai mempersempit persaingan usaha serta berpotensi melanggar UU Anti-Monopoli.

"Sehingga menjadi pertanyaan, mengapa Menteri Nadiem Makarim memutuskan spesifikasi Chromebook dalam lampiran Permendikbud No. 5 Tahun 2021," tambah Almas.

Sementara itu, Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Anwar Razak, menilai pemaksaan pengadaan seperti ini sering kali lahir dari pemufakatan jahat dan membuka ruang praktik korupsi seperti markup harga dan pungli distribusi.

"Oleh karena itu, pihak lain dari pelaku pengadaan yang perlu diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung di antaranya yaitu PPK, kuasa pengguna anggaran, dan Nadiem Makarim selaku menteri atau pengguna anggaran," tegas Anwar.

Lanjut ke halaman berikutnya 


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi