Mahkamah Konstitusi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan agar rakyat atau konstituen di daerah pemilihan diberikan hak untuk memberhentikan anggota dewan baik di tingkat DPR RI maupun DPRD.
Mahkamah menilai dalil permohonan para pemohon tidak beralasan hukum dan tidak selaras dengan konsep demokrasi perwakilan.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum mengatakan, Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.
Sebagai konsekuensi logisnya, mekanisme pemberhentian antarwaktu (recall) terhadap anggota DPR maupun DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik. Mekanisme yang demikian merupakan wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan.
“Keinginan para pemohon agar konstituen di daerah pemilihan diberi hak yang sama dengan partai politik sehingga dapat mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR dan anggota DPRD, pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan,” katanya di Jakarta, Kamis (27/11).
Adapun permohonan ini diajukan oleh mahasiswa bernama Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Mahkamah juga menyebut permohonan para pemohon sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di daerah pemilihan yang bersangkutan. MK menilai hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Karena tidak dapat dipastikan pemilih yang pernah memberikan hak pilihnya kepada anggota DPR dan anggota DPRD yang akan diberhentikan pada waktu dilaksanakan pemilihan umum,” tutur Guntur.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































