LAPORAN DARI AZERBAIJAN
Dewi Safitri | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Nov 2024 10:05 WIB
Jakarta, CNN Indonesia --
Proses negosiasi pendanaan iklim di COP29 berjalan super alot. Berbagai kubu delegasi mengajukan pertimbangan dan sanggahan sengit terutama terkait besar angka yang dikehendaki.
Proses negosiasi berlangsung di ruang sidang utama negosiasi COP pada hari ke-5. Para delegasi meneruskan pembahasan tentang target angka baru untuk anggaran iklim (New Quantitative Cumulative Climate Goals) NQCG.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara G77+China yang beranggotakan sekitar 138 negara berkembang termasuk Indonesia, mengusulkan target pendanaan iklim total global harus mencapai US$1,3 triliun.
Kemudian, negara paling tidak berkembang, 48 negara, menginginkan US$290 miliar dialokasikan untuk mereka, sementara kelompok pulau-pulau kecil yang beranggotakan 39 negara (AOSIS) minta bagian US$39 miliar. Negara-negara Amerika Latin juga menginginkan alokasi dana regional mereka.
Meski beda angka, umumnya negara berkembang menuntut agar dana iklim diberikan tanpa syarat berat.
"Negara maju perlu berkomitmen untuk menyediakan dan memobilisasi setidaknya 1,3 triliun dolar AS setiap tahun hingga 2030 melalui hibah, pinjaman lunak, dan bentuk bantuan non-utang," demikian bunyi pernyataan Ketua Delegasi India Naresh Pal Gangwar mewakili G-77 di Forum Menteri Keuangan COP29, Jumat (15/11).
Peran China
Sebaliknya, negara-negara kaya -yang harus menanggung pendanaan iklim ini- berkeras bicara tentang mana saja cakupan anggaran yang akan dibiayai dan bukan seluruh mekanisme pembiayaan yang diminta negara berkembang.
Mereka juga menolak meneruskan negosiasi tentang pendanaan iklim tanpa membahas dasar pendonor. Misalnya China dan Arab Saudi yang dianggap sebagai emiter utama dunia sekaligus negara kaya dan seharusnya dikenai kewajiban komitmen membayar.
Penasehat Iklim Pemerintah AS Ali Zaid dalam kesempatan terpisah berbicara kepada wartawan di arena COP29 menyatakan peran China sebagai donor sangat penting.
"Pertama, pentingnya mobilisasi dana untuk negara berkembang. Makin besar ambisi iklim dan makin banyak koalisi [donornya] makin luas dampak yang bisa dirasakan. Negara emiter terbesar di dunia yang harusnya memimpin isu pembiayaan ini. China adalah negara emiter terbesar," kata Zaid.
Isu dana iklim adalah bahasan terpenting COP29 setelah kegagalan negara kaya memenuhi target komitmen dana sebesar 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020. Target tersebut baru dapat dipenuhi tahun lalu.
Sekjen PBB Antonio Guterres dalam berbagai pernyataannya di Baku mendesak agar isu dana segera dituntaskan. Negosiasi diperkirakan akan tetap alot hingga minggu kedua nanti. COP29 dijadwalkan berakhir 22 November 2024.
Laporan ini ditulis oleh Dewi Safitri yang meliput COP29 dari Baku, Azerbaijan dengan fellowship dari EJN dan Stanley Center for Peace and Security.
(dsf/dmi)