Jakarta, CNN Indonesia --
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru Amerika Serikat disebut membuat dunia harus bersiap-siap menghadapi krisis iklim tanpa peran negara adidaya itu.
Trump berkali-kali mengatakan bahwa krisis iklim adalah fake news alias berita bohong dan selama masa pemerintahannya terdahulu (2017-2021) memilih berbagai kebijakan yang justru melemahkan upaya mitigasi krisis iklim.
Misalnya dengan membatalkan aturan-aturan lingkungan yang ramah iklim dan malah menciptakan kebijakan yang banyak menguntungkan industri energi fosil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puncaknya, setelah dilantik Trump memerintahkan AS keluar dari Perjanjian Paris tahun 2017. AS kembali masuk Paris Agreement setelah Joe Biden dilantik tahun 2021.
Penasihat Senior lembaga konsultasi pendanaan iklim E3G, Alden Meyer, menilai kecenderungan AS untuk berubah-ubah dalam posisi kebijakan iklimnya tidak dapat diprediksi. Dunia telah beradaptasi dengan perubahan kebijakan iklim Amerika sebelumnya dan harus bersiap untuk melakukannya lagi.
"Negara-negara lain sekarang harus memilih bagaimana akan merespons kalau AS menarik diri dari Perjanjian Paris (lagi). Terutama dengan mempertimbangkan implikasinya pada sektor pendanaan iklim," kata Meyer dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim. Perjanjian ini diadopsi oleh 196 negara pada COP21 yang digelar di Paris, Perancis, pada 12 Desember 2015.
Kesepakatan ini mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016
Menurut Meyer saat AS menarik diri dari Perjanjian Paris pada 2017, tidak ada negara yang mengikuti langkah ini. Karena itu menurutnya sikap para pemimpin negara di COP29 di Baku, Azerbaijan ini sangat penting.
Salah satu negara tetangga AS di benua Amerika, Brazil, sudah bersiap-siap. Negara ini mengalami dampak perubahan iklim yang cukup berat akibat perubahan pada ekosistem di hutan Amazon yang sangat menentukan pola curah hujan dan kekeringan di wilayah itu.
"Perjuangan melawan perubahan iklim merupakan komitmen jangka panjang semua pemerintah dan merupakan kebutuhan bagi manusia. Pemilihan umum satu negara atau ketegangan geopolitik jelas dapat memengaruhi tata kelola iklim global,tetapi kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk mempertahankan dan memperkuat kerangka kerja iklim multilateral internasional, kata Ana Toni, Sekretaris Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Brazil.
Ambil alih peran
Isu anggaran krisis iklim menjadi fokus pada COP29 berlangsung di Baku, Azerbaijan dalam dua pekan. Akibat kebijakannya yang berubah-ubah, peran AS di sektor keuangan iklim sudah disalip oleh kelompok Uni Eropa.
Alden Meyer menduga negosiasi pendanaan iklim global dari AS saat ini tidak mungkin berubah secara dramatis, tetapi persepsi dunia terhadap AS mungkin berubah.
"Jika Amerika gagal memenuhi komitmen pendanaannya, akankah donor lain maju untuk mengisi kesenjangan atau menggunakan ini sebagai alasan? Apa reaksi mereka terhadap kebutuhan pendanaan untuk adaptasi dan dampak iklim yang merupakan bagian penting dari agenda sebagian besar negara berkembang di Baku?"
Di Asia, muncul berbagai seruan bahwa dengan atau tanpa AS upaya mengatasi krisis iklim harus berlanjut karena dampaknya sudah terlampau banyak dan akan makin buruk, Aktivis Keadilan Iklim, Youth Advocates for Climate Action Philippines, Mitzi Jonelle Tan mengatakan peran-peran pemimpin dunia seperti Trump sudah saatnya digantikan.
"Negara-negara seperti negara saya sudah mengalami dampak iklim yang menghancurkan kehidupan. Berharap saja tidak akan menyelamatkan kita. Sekarang kita membutuhkan tindakan yang berani dan tegas yang berakar pada keadilan iklim. Sementara industri bahan bakar fosil dan para pemimpin seperti Trump berpegang teguh pada sistem yang runtuh, kita tidak bisa menyerah. Kita tidak boleh membiarkan kerja sama iklim global dirusak oleh satu pemimpin atau negara mana pun," kata Tan.
Sikap serupa ditunjukkan Ana Toni yang menjanjikan kebijakan pro-iklim Brazil akan berlanjut.
"Brazil akan melakukan bagiannya dan terus bekerja sama dengan semua pemerintah, serta semua pelaku relevan lainnya dari sektor swasta, pemerintah subnasional, dan masyarakat sipil untuk mengejar tujuan ini".
Selama pemerintahan Trump, kebijakan iklim difokuskan pada deregulasi dan promosi bahan bakar fosil di dalam negeri. Ia memprioritaskan kemandirian energi melalui peningkatan produksi minyak dan gas serta mencabut hampir 100 peraturan lingkungan, termasuk batasan emisi karbon dan perlindungan lahan basah. Kalangan pengritik memperingatkan kebijakannya dapat menyebabkan peningkatan substansial dalam emisi gas rumah kaca, yang memperburuk masalah perubahan iklim.
Laporan ini ditulis oleh Dewi Safitri yang meliput COP29 dari Baku, Azerbaijan dengan fellowship dari EJN dan Stanley Center for Security.
(dsf/mik)