Jakarta, CNN Indonesia --
Pengusaha minyak goreng mengeluhkan fenomena masyarakat kelas atas atau orang kaya yang masih membeli produk bersubsidi seperti Minyakita, meskipun mereka mampu membeli merek premium.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyoroti kebiasaan ini. Ia kemudian membandingkan kebiasaan ini dengan orang kaya yang memiliki mobil mewah tetapi tetap memilih membeli bahan bakar bersubsidi seperti Pertalite.
"Satu lagi yang terjadi fenomena di pasar adalah, ini juga bangsa kita ini, sudah pakai Alphard, belinya Pertalite. Ini enggak ngerti kenapa, enggak ada segannya beli begitu. Sama juga dengan ibu-ibu yang kaya-kaya masuk ke ritel beli Minyakita, padahal di ritel itu banyak branding produk," ujar Sahat dalam Rapat Koordinasi Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Menjelang HBKN Puasa dan Idul Fitri 2025, Rabu (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan kebiasaan ini sulit diubah dalam waktu singkat karena sudah menjadi bagian dari karakter masyarakat.
"Tapi itulah, enggak bisa kita ubah karakter itu, kecuali mulai dari taman kanak-kanak kita ubah supaya disiplin, jujur, dan lain-lain. Sekarang sudah bablas," lanjutnya.
Dalam kesempatan itu, Sahat juga menjelaskan menjelang bulan Ramadan dan Lebaran, kebutuhan minyak goreng di pasar umum diperkirakan naik sekitar 3 persen dibandingkan hari biasa.
Dari konsumsi normal sekitar 240 ribu ton per bulan, kebutuhan minyak goreng nasional diperkirakan mencapai 250 ribu ton selama periode ini.
Di sisi lain, ia mencatat adanya perubahan pola konsumsi masyarakat di kota-kota besar yang semakin beralih ke makanan instan sehingga penggunaan minyak goreng mulai menurun.
"Masyarakat kita sudah mulai berubah ke instant food, jadi mereka langsung makan, enggak lagi goreng-gorengan," ungkapnya.
Kendati demikian, Sahat berkata harga minyak goreng di pasar mengalami kenaikan akibat sejumlah faktor. Salah satunya adalah implementasi program biodiesel B40 yang meningkatkan pemakaian minyak sawit untuk bahan bakar.
"Sedikit akibat daripada pemakaian B40, maka pasar luar negeri memperkirakan suplai akan terhambat karena pemakaian sawit kita akan banyak juga ke biodiesel," jelasnya.
Menurutnya, harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional juga mengalami kenaikan sekitar 5 persen sejak Januari 2025.
"Harga Januari itu Rp13.500, sekarang sudah Rp14.700. Tapi itu pun sebetulnya tidak menjadi suatu persoalan karena pasar kita itu terikat pada HET (harga eceran tertinggi) Rp15.700," tambahnya.
Selain itu, Sahat menyoroti permasalahan distribusi minyak goreng ke daerah-daerah terpencil seperti Aceh, Kalimantan Utara, dan wilayah Indonesia bagian timur yang masih tergolong rawan pasokan.
Menurutnya, insentif pengalihan ekspor bagi daerah terpencil masih terlalu kecil sehingga distributor enggan mengirimkan stok ke wilayah-wilayah tersebut.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap praktik pengemasan ulang Minyakita yang dilakukan oleh oknum pedagang untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
"Disparitas harga kira-kira Rp3.000-Rp4.000 per liter ini menyebabkan banyak pelaku pasar membeli dalam jumlah besar, lalu menyobek kemasan dan mengemas ulang. Harga Rp15.700 kemudian dikemas kembali bisa naik margin kira-kira Rp2.000 per liter. Nah, ini yang berbahaya," katanya.
Namun, Sahat memastikan kebijakan terbaru pemerintah yang memperketat pengawasan terhadap ekspor minyak nabati dapat mencegah penyelundupan minyak goreng ke luar negeri.
Selain itu, ia meminta para produsen untuk terus membanjiri pasar agar tidak terjadi kelangkaan minyak goreng seperti yang pernah terjadi pada 2022.
"Kita sudah sampaikan kepada para produsen, jangan sampai terjadi awan hitam di tahun 2022, karena semua nanti masuk Kejagung pada ribut semua, kita pusing. Oleh karena itu, kita harapkan semua mereka untuk membanjiri pasar," pungkasnya.
(del/agt)