Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif 25 persen terhadap impor baja dan aluminium ke Negeri Paman Sam tanpa pengecualian atau pembebasan pada Senin (10/2).
Meski AS mendapatkan sebagian besar bajanya dari Kanada, Brasil, dan Meksiko, tarif tersebut sebagian besar - meskipun secara tidak langsung - ditujukan ke China
"Ini adalah hal besar - membuat Amerika kaya lagi," ujar Trump saat mengumumkan tarif tersebut seperti dikutip CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif baja sebesar 25 persen yang diluncurkan pada pemerintahan pertama Trump dan dilanjutkan oleh mantan Presiden Joe Biden itu mengakibatkan importir Amerika beralih ke sumber lain.
Namun, baja China, selaku produsen baja terbesar dunia, berhasil masuk ke AS dalam kondisi bekas. Sebagian dibeli oleh negara asing dan dikirim ulang ke AS. Sebagian lagi diberi label yang salah dan dijual kembali melalui berbagai saluran.
AS sendiri mengonsumsi puluhan juta ton baja dan aluminium setiap tahun. Baja merupakan komponen utama dari berbagai hal, mulai dari barang konsumsi seperti mobil dan peralatan hingga proyek infrastruktur berskala besar seperti gedung pencakar langit, anjungan minyak dan jaringan pipa, jembatan dan jalan.
Aluminium juga merupakan komponen utama dari berbagai barang seperti kaleng makanan dan minuman, mobil dan jet komersial, serta infrastruktur utama seperti jaringan listrik berdaya tinggi.
Tarif dapat meningkatkan sebagian besar biaya produksi, jika tidak semua, barang-barang tersebut karena meningkatnya biaya baja impor dan domestik. Produsen aluminium AS juga dapat menaikkan harga produk mereka karena berkurangnya persaingan dari impor dengan harga rendah.
Pabrik baja AS sendiri memproduksi baja sekitar tiga kali lebih banyak daripada yang diimpor.
Ketika pemerintahan Trump memberlakukan tarif sebesar 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium pada 2018, impor sempat turun dan produksi domestik naik.
Namun, banyak pelanggan baja dan aluminium impor masih merasa perlu mengimpor barang-barang tersebut dari produsen dengan harga lebih rendah di tempat lain. Tindakan tersebut juga memicu perang dagang yang menghantam barang-barang AS dengan tarif balasan yang menaikkan harga barang-barang lain bagi konsumen.
Beberapa pembeli yang sebelumnya membeli baja dari negara-negara yang terkena tarif, seperti China, beralih ke produsen baja di pasar lain, seperti Kanada, yang sekarang menjadi sumber impor baja AS terbesar dengan porsi 23 persen. Sementara, impor baja dari China turun ke posisi ke-10, dengan porsi kurang dari 2 persen.
Berdasarkan laporkan American Iron and Steel Institute, sebuah kelompok perdagangan industri, impor baja turun 10,2 juta ton, atau 27 persen, antara tahun 2017, tahun sebelum tarif, dan 2019. Produksi baja AS tercatat naik, tetapi hanya 6,8 juta ton, atau 7,5 persen.
Peningkatan produksi baja dalam negeri terbukti berumur pendek. Baik produksi dalam negeri maupun impor turun pada 2020 karena pandemi memangkas permintaan baja secara drastis.
Kendati sudah mulai pulih, produksi AS masih belum mencapai level sebelum tarif 2017, apalagi produksi sebelum pandemi.
Seorang pejabat pemerintahan Trump mengatakan tarif baru untuk baja, meskipun ditetapkan sebesar 25 persen, dirancang untuk menghilangkan celah hukum dan berbagai pengecualian yang menyebabkan beberapa importir mengakali sistem.
Misalnya, pejabat tersebut mengatakan beberapa negara akan mengimpor baja setengah jadi, mengolahnya menjadi produk yang sedikit lebih jadi, dan mengirimkannya ke AS untuk menghindari tarif.
Pekan lalu, Trump mengenakan tarif 10 persen untuk semua impor China ke AS, menambah tarif yang sudah ada untuk Negeri Tirai Bambu itu. Sebagai balasan, China dengan cepat mengenakan tarif untuk chip dan logam tertentu.
Namun, Trump mulai melonggarkan beberapa langkah ini, termasuk menghentikan sementara tarif atas barang senilai US$800 atau kurang yang masuk ke AS hingga Departemen Perdagangan dapat mengembangkan sistem pelacakan. Ia juga menangguhkan pengenaan tarif sebesar 25 persen atas impor dari Meksiko dan Kanada setidaknya hingga 1 Maret.
Bagi Indonesia, AS adalah salah satu pangsa ekspor aluminium besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Antara, selama periode 2019-2023, ekspor produk aluminium ekstrusi Indonesia ke Amerika Serikat dengan kode HS 7601, 7604, 7608, 7609, dan 7610 menunjukkan peningkatan. Pada 2023, ekspor produk tersebut mencapai US$102 juta, sedangkan pada 2019 hanya tercatat US$75 juta.
Pada periode Januari-Agustus 2024, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag RI Natan Kambuno melaporkan ekspor aluminium ekstrusi Indonesia ke AS tercatat sebesar US$41 juta. Nilai ekspor tersebut anjlok dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya, US$79,5 juta.
(sfr)