Jakarta, CNN Indonesia --
Saat bersilaturahmi dengan pimpinan partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, Jumat (14/2), Presiden Prabowo Subianto sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra mengusulkan pembentukan koalisi permanen.
Usulan itu mendapatkan respon positif dari PKB, PAN, PSI hingga Golkar. Sementara itu, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh akan memerintahkan tim khusus untuk mengkaji usulan tersebut.
PDIP juga tampaknya tak tergiur bergabung. Juru Bicara PDIP Guntur Romli menegaskan PDIP akan tetap berada di luar pemerintahan Prabowo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono membantah wacana koalisi permanen yang digagas Prabowo bertalian dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Sugiono menjelaskan Prabowo ingin menjaga persatuan dan kerukunan antarpartai.
Pengamat Politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menilai wacana pembentukan koalisi permanen sengaja dilempar Prabowo sebagai strategi jangka pendek di masa pemerintahannya bersama Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo, kata dia, menginginkan sebuah jaminan bahwa seluruh agenda dan kebijakan yang diambil tidak akan mendapat kritik atau ditolak partai koalisinya di DPR.
"Koalisi permanen yang diinginkan Pak Prabowo ini lebih kepada keinginan dia untuk mengamankan agenda dan kebijakan pemerintah," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/2).
Pasalnya dalam 100 hari masa kerja, kata dia, sudah banyak kritikan keras yang disampaikan baik oleh masyarakat hingga ASN terhadap kepemimpinan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka.
Di sisi lain, ia mengatakan peta politik saat ini sudah jauh berubah pasca MK menghapus ambang batas pencalonan presiden. Dengan demikian, semua parpol bisa mengusung calon presiden-wakil presiden sendiri di Pilpres 2029.
Asrinaldi menilai bukan tak mungkin jika Prabowo memiliki kekhawatiran akan ditinggalkan oleh partai koalisi jika nantinya ada kebijakan yang tidak populis yang ditentang masyarakat.
"Jadi yang penting lebih kepada bagaimana KIM ini bisa setia kepada Presiden Prabowo. Kenapa dipermanenkan, karena Prabowo sadar bahwa kebijakan yang tidak populis juga bisa membuat ditinggalkan oleh partai politik termasuk KIM," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan Prabowo sebagai presiden yang baru menjabat satu kali memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2029 mendatang. Adanya koalisi permanen jadi jalan bagi Prabowo untuk memastikan suara atau elektabilitas tidak menurun jelang pilpres.
Sebab dengan dihapusnya ambang batas pencalonan, ia menilai akan terjadi lebih banyak manuver dari partai politik khususnya sejak dua tahun jelang pemilu.
Menurutnya, partai tak segan melepas kursi menteri di kabinet apabila dapat meningkatkan elektabilitas dan mengusung pasangan calon sendiri.
Namun, kondisi berbeda dengan Gerindra dan Prabowo jika ditinggalkan oleh KIM Plus. Elektabilitas yang seharusnya menjadi daya tawar sebagai petahana bisa jadi jeblok jelang pilpres.
"Karena dia ingin menyelamatkan suaranya. Kehilangan 3 atau 4 kursi di kabinet bagi partai politik apalagi menjelang akhir pemerintahan Prabowo tidak akan ada persoalan. Tapi kalau dipermanenkan mereka jadi terikat dengan komitmen," kata Asrinaldi.
Upaya pertahankan dukungan
Senada, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut usul koalisi permanen sengaja dilempar Prabowo untuk memastikan seluruh proyek mercusuarnya tidak akan mendapatkan resistensi atau perlawanan dari siapapun.
Menurutnya, Prabowo tidak ingin kepemimpinannya seperti periode awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tahun 2014, yang tidak bisa berbuat banyak lantaran mayoritas partai di DPR berada di pihak oposisi.
"Prabowo ada pengalaman traumatik sepertinya, supaya kebijakan-kebijakan yang saat ini diusahakan yang sangat powerful, sangat Prabowo style, tidak mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan," kata Adi.
Meskipun saat ini Prabowo telah memiliki dukungan dari 80 persen kursi di DPR, Adi menyebut koalisi permanen tetap menjadi penting untuk memastikan tidak ada pembelot di KIM Plus.
Adi mengatakan lewat usulan itu, Prabowo dinilai sedang berusaha memetakan kekuatan politik yang dimiliki ataupun yang berpotensi melawannya nanti.
Prabowo, kata dia, juga membuka pintu bagi partai-partai yang nantinya akan memilih jalan berhadapan dengan dirinya dalam kontestasi Pilpres. Ketimbang tetap berada di jalan koalisi akan tetapi pada akhirnya akan melawan seluruh kebijakan yang diambil pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Itu terjadi pada zaman Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). PKS dan Golkar adalah 2 partai politik yang sering disebut sebagai oposisi dari dalam. Bahasa ekstrimnya menjadi duri dalam daging," ujar Adi.
"Tentu Prabowo tidak mau seperti itu. Kalau mau bersama ya dari sekarang lewat Koalisi Permanen. Kalaupun tidak mau ya seperti PDIP di luar sekalian," imbuhnya.
(tfq/tsa)