Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapus, tapi ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati.
Ia menuturkan jaksa diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya hukuman seumur hidup untuk dipertimbangkan majelis hakim.
"Pemerintah dan DPR memang harus menyusun Undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru" ujar Yusril melalui siaran persnya, dikutip Kamis (10/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional.
Menurut Yusril, pidana mati tidak serta merta dapat dilaksanakan setelah putusan pengadilan. KUHP mengatur pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden. Jadi, memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga atau penasihat hukumnya sesuai ketentuan KUHAP.
Pasal 99 dan 100 KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
"Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup," jelas Yusril.
Ia berujar pendekatan kehati-hatian itu berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.
"Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan," ucap Yusril.
Yusril lantas mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, "Bagi seorang hakim, adalah lebih baik dia salah dalam mengambil keputusan dengan membebaskan seseorang, daripada dia salah memutuskan dengan menghukum seseorang."
Yusril mengatakan jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, maka konsekuensinya tidak dapat diperbaiki.
"Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak," tegasnya.
Yusril juga merespons perdebatan seputar hak asasi manusia (HAM) dalam penjatuhan pidana mati. Yusril menyatakan sikap terhadap pidana mati sangat tergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup.
"Beberapa agama di masa lalu mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut, namun dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati," tutur dia.
KUHP Nasional, lanjut Yusril, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan.
"Pidana mati dikenal dalam hukum pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Oleh karena itu, kita tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian," pungkasnya.
Sebelumnya, dalam sesi wawancara bersama tujuh pemimpin redaksi media nasional di kediamannya, Hambalang, Bogor, Minggu (6/4) lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Prabowo berpendapat hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum.
Prabowo menyatakan meskipun keyakinan atas kesalahan seseorang mencapai 99,9 persen, masih ada kemungkinan individu tersebut menjadi korban atau dijebak. Oleh karena itu, hukuman mati yang bersifat final tidak memungkinkan perbaikan atas kesalahan tersebut.
Lebih lanjut, Prabowo menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara oleh koruptor dan mendukung penyitaan aset-aset hasil korupsi sebagai langkah yang wajar dalam memberantas tindak pidana tersebut.
Namun, Prabowo juga mengingatkan agar aspek keadilan diperhatikan sehingga anak dan keluarga koruptor tidak ikut menderita akibat penyitaan harta tersebut.
Prabowo menyatakan dosa orang tua tidak seharusnya menjadi beban bagi anak-anak mereka.
Hukuman mati bagi koruptor saat ini diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pidana mati dapat diterapkan dalam keadaan tertentu yakni dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun, hukuman tersebut belum pernah diterapkan.
(ryn/tsa)