CNN Indonesia
Selasa, 18 Feb 2025 10:13 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Eropa dilanda kepanikan usai Amerika Serikat 'mengkhianati' mereka dengan melakukan pembicaraan berdua dengan Rusia tanpa melibatkan negara-negara Eropa dan Ukraina.
Para pemimpin negara Eropa pada Senin (17/2) menggelar pertemuan darurat di Prancis untuk membahas soal pertemuan AS dan Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pejabat AS dan Rusia dijadwalkan bertemu pada Selasa (18/2) untuk membahas tentang perang di Ukraina. Pertemuan awal yang akan dilanjutkan oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di waktu mendatang ini membuat kalut negara-negara Eropa lantaran tak melibatkan mereka. Bahkan, Ukraina juga tidak diajak.
Dalam pertemuan di Istana Elysee Prancis, para pemimpin negara Eropa pun berdiskusi mengenai stratego menanggapi perubahan kebijakan AS yang kini di bawah Donald Trump.
Mereka mempertimbangkan sejumlah reaksi, seperti meningkatkan anggaran pertahanan agar tidak terlalu bergantung pada AS, memberikan jaminan keamanan ke Ukraina, hingga mengirim pasukan ke Kyiv sebagai penjaga perdamaian jika terjadi gencatan senjata.
Ide mengirim pasukan itu muncul usai Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan siap mempertimbangkan dan menempatkan pasukan Inggris di Ukraina "jika ada perjanjian perdamaian yang langgeng."
Sejumlah negara setuju dengan ide ini. Namun, pada saat yang sama, gagasan ini membuat marah Jerman.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan rencana tentang pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina "benar-benar prematur" dan "sangat tidak pantas" dipertimbangkan saat perang sedang berlangsung.
Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menyinggung bahwa hubungan antara Eropa dan Amerika Serikat "telah memasuki fase baru."
Sejalan dengan itu, Kepala Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan "Ukraina pantas mendapatkan perdamaian melalui kekuatan" dan hal ini menurutnya harus "menghormati kemerdekaan, kedaulatan, serta integritas teritorial [Ukraina], dengan jaminan keamanan yang kuat."
Mengenai pengiriman pasukan, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen terbuka soal itu. Kendati begitu, Frederiksen mewanti-wanti soal potensi mundurnya AS dari aliansi Eropa jika ada pengerahan pasukan ke Ukraina.
Rapat darurat di Prancis ini sendiri berakhir tak melahirkan pernyataan bersama, seperti dikutip dari AFP.
Pada Selasa (18/2), Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan dirinya mengadakan pembicaraan telepon dengan Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menyerukan "jaminan keamanan yang kuat dan kredibel" bagi Ukraina sehingga kesepakatan damai tak berakhir seperti perjanjian Minsk 2014 dan 2015 yang gagal menyelesaikan konflik di Ukraina timur.
(blq/bac)