Gelombang Demo Akar Rumput dan Jurus Redam Gejolak ala Pemerintah

3 days ago 8

Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Berbagai jenis demonstrasi dari mahasiswa, buruh, hingga koalisi masyarakat sipil mewarnai 100 hari lebih pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Terbaru, adalah demonstrasi menolak RUU TNI yang sudah sah jadi UU di berbagai wilayah.

Di tengah protes masyarakat, kondisi ekonomi menunjukkan indikator yang tidak baik. IHSG ambrol 420,97 poin atau minus 6,58 persen ke level 6.046 pada perdagangan Selasa (18/3). Bahkan Bursa Efek Indonesia membekukan perdagangan alias trading halt selama 30 menit.

Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah terpuruk ke level Rp16.611 per dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa (25/3). Nilai ini tercatat terendah sejak 1998. Kondisi ini juga ditambah dengan komentar-komentar pejabat publik yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen FISIPOL Universitas Gajah Mada Nyarwi Ahmad berpendapat pemerintah memerlukan komunikasi efektif untuk menjaga kepercayaan publik.

Ia menilai komunikasi politik dan publik yang lebih sejuk dan empatik perlu dikembangkan dan dijalankan oleh tim komunikasi kepresidenan hingga pimpinan Kementerian/Lembaga.

"Perlu ada standard komunikasi yang lebih elegan, responsif, dengan mengedepankan empati atau merangkul harapan publik. Bukan defensif yang bisa menjadi boomerang dan memunculkan kontroversi, kegaduhan, gejolak serta sentimen-sentimen negatif dari publik," kata Nyarwi saat dihubungi, Rabu (26/3).

Pun begitu di tengah gejolak ekonomi dan keterpurukan IHSG, ia memandang gaya komunikasi Prabowo perlu mengedepankan model lebih menyejukkan dan komunikasi yang mampu meningkatkan trust dari publik, pelaku pasar, termasuk investor.

Komunikasi Presiden dan tim harus dibenahi

Senada, Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan perlu ada pembenahan cara berkomunikasi. Selain itu, dia meminta agar negara tak absen dalam merespons ekses setiap kebijakan yang dibuat.

"Lebih gesit, lebih tanggap merespons setiap kebijakan yang dibuat maupun ekses yang ditinggalkan dari kebijakan tersebut. Jangan didiamkan, jangan pasif. Jangan sampai enggak tahu siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan ini, karena semuanya mendiamkan atau menunggu komando karena takut bersikap," kata Agung.

Ia mengatakan masalah komunikasi ini tidak bisa dianggap sepele. Agung menyinggung pernyataan Prabowo yang sebelumnya telah menginstruksikan jajaran Kabinet Merah Putih memperbaiki komunikasi ke rakyat.

"Masukan juga buat Bapak Presiden ya supaya lebih hati-hati dalam setiap membuat statement-statement di publik, karena setiap statement beliau itu punya efek dan ekses yang luar biasa," kata Agung.

Selain komunikasi, ia menyoroti soal koordinasi dan sinkronisasi antara kementerian. Menurut Agung, para Menko perlu tampil ke publik jika ada kebijakan atau isu yang harus dijelaskan.

Di tengah kondisi ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan, Agung menyoroti pernyataan pejabat publik yang justru menjadi kontroversi.

Di antaranya, pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi tentang memasak kepala babi. Pernyataan itu sampaikan merespons teror yang diterima wartawan Tempo.

Lalu pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana soal Timnas Indonesia susah menang saat bertanding karena kurang gizi dan pernyataan Wamenag Muhammad Syafi'i yang menyebut fenomena ormas minta THR ke pengusaha adalah budaya sejak dulu.

Agung mengatakan daripada menimbulkan polemik, seharusnya para pejabat bisa menahan diri untuk mengomentari sebuah isu.

"Jadi kalau saya menganjurkan, jangan malu ngomong 'no comment'. Mending ngomong 'no comment' daripada membuat masalah," katanya.

Analis Komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sujoko menambahkan para pejabat publik harusnya memiliki rasa empati terhadap apa yang dirasakan publik.

Ia mengatakan para pejabat juga harus bisa memahami konteks sebelum mengomentari sebuah peristiwa.

Anang menyebut komentar yang terkesan seenaknya sendiri oleh pejabat yang terus menerus akan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

"Dalam analisis saya karena ini terus berlangsung dalam beberapa kali oleh menteri oleh juru bicara yang kemudian kalau ini dibiarkan maka kemungkinan akan terjadi sangat turunnya trust masyarakat kepada pemerintah," kata Anang.

April-Mei krusial

Agung berpendapat jika komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi bisa dibenahi, separuh kegaduhan yang timbul beberapa waktu belakangan bisa diatasi oleh pemerintah.

"Separuhnya lagi apa? Ekonomi, jadi selesaikan soal-soal ekonomi yang menjadi PR yang lumayan besar. Bagaimana mengembalikan pamor IHSG. kurs rupiah, menarik investasi asing," kata Agung.

"Sisanya soal hukum. Percepat perampasan aset memiskinkan koruptor, hukum tegakkan secara konsisten," imbuh dia.

Ia mengatakan April dan Mei ini menjadi masa krusial pemerintah untuk merespons ketidakpuasan di publik. Agung mewanti-mewanti jangan sampai ketidakpuasan di publik semakin terakumulasi.

"Ketidakpuasan publik ini kan bisa menyebar cepat. Ini karena Ramadan aja bisa tertahan. Selesai Ramadan orang bisa emosi semua. Supaya tidak terakumulasi dan menjadi bom waktu nanti. Jadi harus taktis, gesit. Jangan blunder terus," kata Agung.

(yoa/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi