Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Penulis: Muliadi Saleh
Di Hari Guru Nasional, 25 November ini, sebuah pertanyaan lama kembali mengetuk kesadaran kita: masihkah guru benar-benar digugu dan ditiru?
Pertanyaan itu sederhana, namun ia menyimpan riwayat panjang tentang perubahan sosial dan dinamika pendidikan kita. Dahulu, guru dipandang sebagai suluh—tempat bertanya, tempat mempercayakan akhlak, tempat belajar menapaki hidup. “Digugu” berarti dipercaya ucapannya, dijadikan pegangan, bahkan saat dunia sedang goyah. “Ditiru” berarti memandangnya sebagai teladan, kejujuran dan kesederhanaannya diikuti tanpa perlu diminta. Dua kata ini bukan sekadar ungkapan kuno; ia lahir dari sejarah masyarakat yang melihat guru bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai laku hidup.
Namun, zaman berubah lebih cepat daripada detak jam di dinding kelas. Anak-anak tumbuh di jagat digital. Layar gawai bisa lebih didengar daripada suara manusia. Informasi mengalir deras, kadang mencerahkan, kadang menyesatkan. Guru hari ini tidak hanya berhadapan dengan ketidaktahuan, tetapi juga dengan “pengetahuan yang salah”, hoaks, dan kebenaran semu yang dibungkus algoritma. Di tengah hiruk pikuk ini, justru kehadiran guru menjadi jauh lebih relevan. Sebab ilmu tanpa akhlak hanyalah pisau tanpa sarung, dan akhlak tak akan pernah lahir dari mesin—ia tumbuh dari keteladanan manusia.
Dalam ruang kelas yang semakin kompleks, guru berdiri di persimpangan zaman. Kurikulum berganti, teknologi meningkat, karakter generasi Z dan Alpha muncul dengan logika dan ritme berpikir yang berbeda. Guru tak lagi cukup menjadi pengajar; ia adalah fasilitator, pembimbing, penjaga nilai, sekaligus juru damai antara dunia nyata dan dunia virtual murid-muridnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

















































