FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan pencemaran nama baik terkait isu ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo menyeret Roy Suryo, Rismon, dan enam aktivis lainnya menjadi tersangka.
LBH Advokasi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Gufron, menilai proses hukum ini sarat kriminalisasi, tidak memenuhi unsur pidana, dan jauh dari pemenuhan alat bukti.
Pihak utama dalam kasus ini adalah Roy Suryo, Rismon, serta enam aktivis lainnya sebagai tersangka. LBHAP Muhammadiyah hadir sebagai kuasa hukum mereka. Mantan Presiden Jokowi sebagai pihak pelapor yang menuduh adanya pencemaran nama baik.
Proses hukum berlangsung sekitar enam bulan terakhir, dimulai dari pemeriksaan hingga penetapan delapan tersangka dan diangkat dalam podcast Abraham Samad Speak Up.
Kasus bergulir di tingkat penyelidikan dan penyidikan aparat kepolisian. Polemik seputar ijazah Jokowi muncul dari berbagai kanal publik, termasuk unggahan warganet, analisis telematika, hingga gugatan di Pengadilan Negeri.
LBH Muhammadiyah menilai penetapan tersangka lebih sarat tekanan politik dibanding pertimbangan hukum. Alat bukti utama, yaitu ijazah asli Jokowi yang tidak pernah diperlihatkan ke publik.
Karena itu, kasus ini dinilai dipaksakan dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Gufron menegaskan bahwa kritik dan riset ilmiah tidak seharusnya dipidana.
Kasus berjalan dengan penggunaan pasal UU ITE yang menurut LBH cenderung dipakai untuk membungkam kritik. Tekanan kekuasaan diduga memengaruhi keputusan penyidik.
LBH Muhammadiyah menegaskan akan membawa kasus ini ke persidangan bila perlu, agar alat bukti diuji secara terbuka. Mereka juga mendorong publik untuk terus mengawasi proses hukum.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

















































