Jakarta, CNN Indonesia --
Masyarakat sipil memberi sejumlah catatan merespons keinginan Presiden RI Prabowo Subianto yang hendak bertemu tokoh atau penggagas tagar Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu yang sempat ramai beberapa waktu lalu.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyambut baik inisiatif cepat Prabowo untuk membuka ruang diskusi dan ingin memahami konstruksi lengkap dari gerakan publik dimaksud.
Kendati demikian, ia memberi sejumlah catatan kritis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Catatan pertama adalah ketika diminta forumnya secara tertutup tidak di ruang publik, maka itu mengubah posisi Presiden Prabowo yang tadinya milik publik dan membicarakan isu-isu publik menjadi ranah privat, personal. Ini yang tidak boleh dan tidak baik," kata Julius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/4).
Ia menjelaskan dialog secara terbuka penting untuk sekaligus memberikan pemahaman kepada publik yang barangkali juga tidak memahami utuh maksud dari gerakan Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu.
Catatan kedua, sebelum melakukan klarifikasi dimaksud, Julius meminta Prabowo untuk berkoordinasi dengan kementerian-kementerian di bawahnya untuk mendapat informasi dari gerakan tersebut.
"Ini dulu yang dipertanyakan sehingga ketika melakukan klarifikasi terhadap penggagas Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu maka dia sudah mendapatkan tekstualisasi dari internal dirinya sendiri yaitu eksekutif atau pemerintahan di bawah kepresidenan yang dia pimpin. Itu sebaiknya yang dia lakukan," tutur dia.
"Tanya ke kementerian-kementerian misalnya Indonesia Gelap bicara masyarakat sipil yang terus-menerus mengalami represi, ruang publik yang diisi tentara dan segala macamnya. Ditanya dulu nih kenapa bisa begini, emang enggak ada ruang untuk menyerap aspirasi, untuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat untuk mencari titik temunya," imbuhnya.
Julius secara khusus menyoroti pernyataan Prabowo yang berbunyi "Ayo, jangan kabur-kabur, kita bangun Indonesia sama-sama.' Ia menekankan partisipasi menjadi kata kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
"Ini yang belum ada dan harus diperkuat Presiden Prabowo ke depannya. Karena kalau tidak, percuma nih nanti dia diskusi sama penggagas Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu enggak selesai juga masalahnya," tandasnya.
Gimik belaka
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah menilai Prabowo ingin mengesankan diri sebagai pribadi yang responsif. Bagi dia, rencana Prabowo tersebut hanya gimik belaka.
"Kalau memang Prabowo serius soal tuntutan itu ya sudah dia mesti serius juga misalnya mengevaluasi program dan kebijakan yang tidak pro rakyat: soal efisiensi anggaran misalnya, pendidikan yang sekarang tidak menjadi prioritas, makan bergizi gratis yang tidak jelas itu misalnya, soal korupsi, banyak macamnya. Soal dwifungsi kemarin, pembentukan peraturan perundang-undangan yang ugal-ugalan, kalau memang serius ya kerjakan saja," kata Castro, sapaan akrabnya.
"Tidak perlu mengesankan diri seolah terbuka, responsif, hendak mengajak dialog dan sebagainya," imbuhnya.
Penilaian itu didasari oleh keinginan Prabowo yang ingin berdialog namun secara tertutup.
"Ingin dialog tapi harus tertutup. Ini aneh. Dan pertemuan-pertemuan tertutup dalam kalkulasi politik berarti hendak membicarakan hal-hal yang tidak ingin diketahui oleh publik sementara kita justru sebaliknya kan, gerakan masyarakat sipil menghendaki semua proses perundingan, dialog, pengambilan kebijakan, itu harus dilakukan secara terbuka dan transparan," kata Castro.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpendapat sebenarnya sederhana saja jika Prabowo ingin mengetahui aspirasi dari publik. Dalam hal ini Ketua YLBHI M. Isnur meminta Prabowo untuk mencari informasi dari intelijen-intelijen pemerintahan.
"Harusnya beliau punya data intelijen kalau benar memberikan data yang tepat akan mendapatkan data yang benar. Saya khawatir intelijen pemerintah tidak memberikan data yang benar sehingga mendapat informasi yang keliru," ungkap Isnur.
"Akhirnya adalah asumsi atau stigma seperti [gerakan] dibayar, asing, itu artinya pemerintah tidak punya mata, telinga dan hati yang baik untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Bagaimana mungkin menggerakkan lebih dari 60 kota semua dibayar, dan mahasiswa tahu betul siapa mereka. Pemerintah tidak mempunyai tools untuk mendengarkan masyarakat karena tertutup oleh buzzer, bawahan yang memberi informasi yang keliru," tandasnya.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan 7 jurnalis senior di Hambalang, Bogor, Jumat (6/4), Prabowo mengungkapkan keinginannya untuk bertemu tokoh atau kelompok masyarakat yang menyuarakan sejumlah isu terkait 'Indonesia Gelap' hingga 'Kabur Aja Dulu' yang sempat ramai beberapa waktu lalu.
Namun, Prabowo mengaku ingin pertemuan digelar secara tertutup.
"Saya juga mau dialog. Saya mau ketemu lah sama siapa. Mari kita bahas ya kan. Mungkin tidak usah di publik ya. Tokoh-tokoh yang Indonesia gelap," kata Prabowo.
"Maksudnya oke kalau memang Indonesia gelap, mari kita kerja supaya Indonesia tidak gelap. Iya kan. Kok Indonesia gelap. Kabur aja deh. Kabur aja dulu deh. Habis itu Jokowi salah. Prabowo goblok. Ini tidak mengatasi," imbuhnya.
(ryn/gil)