Jakarta, CNN Indonesia --
Menjelang Ramadan yang jatuh pada Maret 2025, muncul berbagai opsi terkait sistem pembelajaran di sekolah. Salah satu wacana yang menarik perhatian adalah usulan untuk meliburkan sekolah sebulan penuh selama Ramadan yang diajukan Menteri Agama Nasaruddin Umar.
Namun, hingga saat ini, usulan tersebut masih dalam tahap pembahasan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menyatakan wacana tersebut masih dalam proses kajian oleh Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah perdebatan pro dan kontra mengenai wacana ini, psikolog anak dan keluarga Mira Damayanti Amir menyebut, meliburkan kegiatan belajar-mengajar selama Ramadan sebenarnya bukan hal baru.
Hal yang perlu diketahui adalah, ada dampak yang akan dialami anak ketika mereka harus libur selama satu bulan penuh ditambah cuti bersama setelah Idulfitri. Semua ini tentu memerlukan proses adaptasi bagi anak.
"Tentu akan ada proses adaptasi atau penyesuaian diri ulang, baik bagi siswa maupun pihak lain yang terlibat," kata Mira saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (16/1).
Menurutnya, masa libur Ramadan yang cukup panjang ditambah setelahnya ada cuti bersama memang cukup berdampak pada anak. Dampaknya juga berbeda untuk setiap anak, tergantung pada kepribadian masing-masing.
"Biasanya waktu adaptasi yang dibutuhkan sekitar beberapa hari hingga dua minggu," katanya.
Ia juga menyoroti kemungkinan terjadinya separation anxiety, terutama pada anak sekolah dasar, yang mungkin merasa kesulitan berpisah dari orang tua saat kembali ke sekolah. Selain itu, perubahan kebiasaan tidur anak juga bisa terjadi akibat penyesuaian dengan jam masuk sekolah.
"Bisa terjadi separation anxiety, (anak-anak) maunya tetap ditungguin di sekolah," katanya.
Oleh karena itu, Mira menyarankan agar tenaga pendidik tetap aktif memantau kegiatan siswa-siswinya selama libur Ramadan jika wacana ini diresmikan. Misalnya, dengan memberikan tugas yang bisa dikerjakan siswa di rumah.
Tugas-tugas ini dapat disesuaikan dengan mata pelajaran dan jenjang pendidikan masing-masing.
Ilustrasi. Psikolog sebut ada dampak yang bisa terjadi pada anak jika wacana libur sekolah selama Ramadan dilaksanakan. (iStockphoto)
Bagi siswa sekolah menengah, Mira menyarankan tugas seperti membuat karya tulis atau proyek tertentu. Hal ini akan membantu siswa tetap belajar dan memanfaatkan waktu libur secara produktif.
Saran untuk orang tua
Psikolog yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Dharmawangsa ini juga memberikan sejumlah saran kepada orang tua untuk memaksimalkan waktu libur anak, yakni sebagai berikut:
1. Rutin menstimulasi anak
Orang tua disarankan untuk aktif berinteraksi dengan anak selama libur Ramadan. Kegiatan bermain bersama, seperti tebak-tebakan atau permainan edukatif lainnya dapat membantu menstimulasi kemampuan motorik, kognitif, dan imajinasi anak.
"Rutin menstimulasi anak-anak ini, bentuknya tidak melulu dalam pelajaran, tapi dalam bermain juga sebenarnya anak-anak itu bisa distimulasi, baik kemampuan motoriknya, kognitifnya, (misalnya) main tebak-tebakan," jelas Mira.
2. Mengurangi screentime
Mira juga menekankan pentingnya membatasi screentime anak. Orang tua diharapkan memberikan contoh yang baik dengan tidak terlalu sering menggunakan gadget. Sebagai alternatif, anak dapat diajak membaca buku atau berolahraga.
Ilustrasi. Psikolog minta orang tua ikut perhatikan anak jika wacana libur selama Ramadan terlaksana. (IStockphoto/BongkarnThanyakij)
3. Bonding bersama
Mira juga menyarankan agar orang tua mendukung anak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan sekolah selama libur Ramadan. Momentum libur sekolah selama Ramadan ini diharapkan bisa menjadi kesempatan emas bagi orang tua untuk membangun hubungan lebih baik dengan anak.
"Ini berarti kan kesempatan baik ya buat orang tua membentuk ikatan, attachment, bonding dengan anak-anak, yang saat ini mungkin agak susah ya untuk terealisasi karena kesibukan anak dan orang tua."
(aur/tis)