Jakarta, CNN Indonesia --
Belum genap tiga bulan, Hamas lagi-lagi kehilangan pemimpin mereka. Kali ini, Yahya Sinwar yang tewas dalam serangan Israel pada Rabu (16/10).
Sebelum tewas, Sinwar sempat bertempur sengit dengan pasukan Israel yang sedang patroli di Rafah, Gaza selatan.
Dia lalu menghindari keramaian dan berusaha menyelamatkan diri dengan masuk ke gedung yang sebagian hancur. Di detik-detik terakhir, Sinwar bahkan masih terlihat melakukan perlawanan dengan melempar dahan ke drone yang mengincar dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sinwar menjadi pemimpin Hamas kedua yang tewas setelah Ismail Haniyeh dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan.
Lalu, apa yang tersisa dari Hamas setelah Sinwar tewas?
Perwakilan Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan kematian Sinwar justru memicu semangat perlawanan di Palestina.
"Semangat perlawanan akan semakin kuat," kata dia, dikutip AFP, Jumat (18/10).
Perwakilan itu lalu berujar, "Ia akan menjadi contoh bagi para pemuda dan anak-anak yang akan meneruskan jalan menuju pembebasan Palestina."
Selama pendudukan dan agresi masih berlanjut, menurut dia, perlawanan akan terus ada.
"Sang martir akan terus hidup dan menjadi sumber inspirasi," ungkap perwakilan Iran itu.
Sementara itu, peneliti senior di Universitas Tel Aviv, Harel Chorev, mengatakan kematian Sinwar bisa menjadi pukulan fatal bagi Hamas karena cara kerja kelompok ini.
Sebelum Israel melancarkan agresi, kekuasaan dan kontrol Hamas terdesentralisasi. Sinwar saat itu menjadi kepala politik Gaza. Dan dia, hanya salah satu dari banyak pemimpin Hamas.
Namun, kondisi semacam itu berubah selama setahun terakhir.
"Sinwar menjadi satu-satunya pengambil keputusan, dan tentu saja, dia menjadi kuat seiring Israel membunuh banyak tokoh penting Hamas," ujar Chorev, dikutip CNN.
Serangan membabi buta Israel di Gaza dalam setahun terakhir tak bisa dimungkiri juga membuat Hamas sangat lemah, kata dia.
Pembunuhan Sinwar, lanjut Chorev, akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang besar, yang akan dimanfaatkan sepenuhnya oleh Israel.
Chorev menyebut Hamas juga akan menghadapi kebingungan yang besar di tengah "vacuum of power."
Berbeda dengan Chorev, Direktur Program Timur Tengah Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington DC, Jon B Alterman, mengatakan kematian Sinwar akan menciptakan fase baru.
"Hamas akan terpecah sebagai kekuatan tempur. Beberapa kelompok dalam Hamas mungkin ingin menggandakan kekerasan sementara yang lain mungkin berusaha mempertahankan pilihan demi masa depan," kata Alterman di situs resmi CSIS.
Dia juga menduga Hamas dalam beberapa hari ke depan akan sibuk dengan persoalan internal dan memilih pemimpin baru. Dengan demikian, intensitas pertempuran dengan Israel menurun.
Terkait calon pengganti Sinwar, pengamat hubungan internasional Timur Tengah di Universitas Cambridge, Roxane Farmanfarmaian, mengatakan Hamas mungkin akan memilih pemimpin yang "lebih keras" dibanding sebelumnya.
Sinwar terkenal sebagai sosok yang konfrontatif menghadapi Israel dan cenderung menggunakan pendekatan militer.
Sinwar juga disebut menjadi kekuatan pendorong militer dan politik di balik keengganan Hamas menyetujui gencatan senjata dan pengembalian sandera dengan syarat apa pun yang bisa diterima Israel.
"Hamas mungkin akan memilih pemimpin militer lain daripada pemimpin politik di tahap ini, karena perjuangan belum berakhir," demikian laporan Al Jazeera, mengutip pernyataan Farmanfarmaian.
(isa/dna)