RI Resmi Gabung BRICS Bareng Rusia-China, Menguji Politik Bebas-Aktif

1 week ago 9

Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia disebut seperti memasuki bipolaritas usai resmi bergabung dengan forum ekonomi yang digawangi Rusia-China, BRICS.

Pertanyaan soal penerapan politik bebas aktif yang selama ini menjadi dasar kebijakan luar negeri muncul di tengah rivalitas global semakin kuat.

Kementerian Luar Negeri Indonesia berulang kali menegaskan bahwa bergabung dengan BRICS merupakan pengejawantahan dari politik bebas aktif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra mempertanyakan hal tersebut.

"Bebas-aktif ini kan memang bukan netral, jadi ya boleh saja dimaknai merapat ke satu pihak," kata Radityo saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (9/1) malam.

Radityo lalu merujuk pengertian bebas-aktif versi wakil presiden pertama Indonesia Mohammad Hatta. Dia menilai politik semacam itu memang bebas dan aktif ke mana saja sesuai kepentingan nasional.

"Kan sejak awal tidak jelas apa kepentingan kita di BRICS? Malah justru risikonya tinggi karena dipandang merapat ke China-Rusia. Apakah keuntungannya lebih besar dari kerugiannya? Itu saja kuncinya," ucap dia.

Amerika Serikat dan China bermusuhan dalam banyak hal mencakup perdagangan, ekonomi, teknologi hingga isu Kawasan Asia Pasifik seperti Taiwan dan Laut China Selatan.

Sementara itu, AS plus sekutunya dan Rusia juga tak baik-baik. Hubungan memburuk dalam beberapa tahun terakhir usai Presiden Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii punya pandangan berbeda soal politik bebas aktif.

"Selama ini doktrin politik luar negeri Indonesia tetap bebas-aktif namun implementasinya bergantung pada tafsir presiden yang sedang menjabat," ungkap dia.

Dalam hal ini Prabowo ditopang Menteri Luar Negeri Sugiono memilih jalan membangun kedekatan dengan China tanpa meninggalkan AS.

"Ketika Indonesia bergabung dengan BRICS maka tugas pemerintah Indonesia untuk meyakinkan para pihak bahwa intensi bergabung adalah semata untuk pertimbangan ekonomi," imbuh Sya'roni.

Indonesia memang memiliki hubungan dagang yang kuat dengan China. Namun, bergabung dengan BRICS di mata Radityo belum bisa menjamin apapun.

"Kalau kepentingannya investasi dari China, apakah yang didapat dari BRICS lebih banyak dari yang didapat tanpa BRICS?" ungkap dia.

Di luar BRICS, Indonesia juga berencana gabung dengan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi(OECD) yang berisi negara Eropa dan Amerika Latin.

Jika prosesi RI untuk menjadi anggota penuh juga diterima OECD, Sya'roni menilai posisi itu bisa menjadi faktor yang menguatkan posisi Indonesia cenderung berada di tengah.

RI juga sudah bergabung dengan G20, di mana anggota mereka termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan China.

Tandingan G7

BRICS bagi banyak pihak merupakan tandingan G7 yang berisi AS dan sekutunya.

"Yang justru harus dipertanyakan, bebas-aktif tanpa tujuan yg jelas dan cuma aktif di mana-mana malah bisa membuat kita menyinggung semua pihak," kata Radityo.

Lebih lanjut, pengamat itu mewanti-wanti pemerintah Indonesia agar tak salah langkah hingga menciptakan kesulitan sendiri.

"Karena bisa jadi nanti partner kita akan ragu," ujar Radityo.

Radityo lalu menyarankan pemerintahan di bawah Prabowo Subianto untuk mendekat dan meyakinkan negara-negara Barat bahwa Indonesia bersedia lebih erat dengan mereka.

Upaya pendekatan itu, lanjut dia, seharusnya diserahkan ke diplomat dan Kementerian Luar Negeri.

Kemlu memiliki wakil menteri yang sangat berpengalaman di bidang diplomasi yakni eks Duta Besar Jerman Arif Havas Oegroseno dan eks Dubes RI untuk Perwakilan Tetap RI di New York Arrmanatha Nasir.

"Di situlah pentingnya kita kembalikan peran diplomat dan Kemlu. Sudah beberapa bulan ini diplomasi dan politik luar negeri kita dipegang langsung oleh Presiden," ucap dia.

Jika presiden terlalu jauh memasuki ruang diplomasi, Radityo memandang, akan memunculkan keraguan di antara partner Indonesia.

Saat ditanya sejauh mana kepala negara RI terlibat dalam urusan diplomasi, pengamat yang fokus di kajian Rusia-Eropa Tengah itu mengatakan "sudah saatnya presiden mencoba mendengar" masukan dari para diplomat.

Prabowo, kata dia, juga bisa membentuk semacam Dewan Keamanan Nasional yang berisi diplomat, mantan dubes, para pakar, untuk memberi masukan ke presiden.

(isa/bac)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi