LAPORAN DARI BAKU
Dewi Safitri | CNN Indonesia
Minggu, 24 Nov 2024 14:20 WIB
Baku, CNN Indonesia --
COP29 akhirnya resmi ditutup pada sekitar pukul 03.00 dinihari waktu Baku, Azerbaijan.
Konferensi diperpanjang sampai sekitar 30 jam karena negosiasi buntu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuntutan negara berkembang untuk mendapatkan dana iklim yang layak guna membiayai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berakhir gagal. Dari 1,3 triliun dolar AS untuk target dana baru iklim (NCQG), akhirnya COP29 memutuskan 300 miliar dolar AS dijanjikan negara maju per tahun pada 2035, untuk kebutuhan tersebut.
Kelompok negara berkembang dan masyarakat sipil global sangat gusar pada keputusan ini. Negosiasi diwarnai walkout negara pulau kecil dan negara paling tidak berkembang yang merasa tuntutannya bahkan tak masuk dalam draft keputusan yang dibahas.
Sementara kelompok NGO terus menggelar aksi di luar sidang mengawal agar putusan tak meninggalkan tuntutan negara berkembang.
"Negara maju yang harus disalahkan - mereka telah menggunakan hasil pemilu AS sebagai alasan untuk memaksakan hasil buruk ini. AS telah mencoba mengobrak-abrik Konvensi dan Perjanjian Paris selama bertahun-tahun, ada Trump atau tidak ada Trump," tulis pernyataan Climate Action Network.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan kehendaknya untuk meninggalkan Paris Agreement dianggap akan melemahkan posisi dana iklim. Karena ini banyak negara maju enggan berkomitmen karena selama ini AS adalah salah satu penyumbang dana terbesar.
AS juga dipandang mengatur jalannya negosiasi sehingga berhasil menurunkan tuntutan negara berkmbang terhadap negara maju.
"Apa yang nampak adalah, "Kami yang bikin aturan, jadi ikuti perintah kami," di mana AS mengabaikan aturan saat itu menguntungkan dirinya," tuduh Victor Menotti, Koordinator AS untuk Global Campaign to Demand Climate Justice.
Misi utama COP29 mencari sumber pendanaan yang dapat diandalkan oleh dunia guna mengatasi dampak krisis sekaligus antisipasi krisis memburuk, dianggap gagal.
"Ini merupakan negosiasi iklim yang paling buruk selama bertahun-tahun karena ketidakjujuran negara-negara maju. Ini seharusnya menjadi Finance COP, tetapi negara-negara Utara muncul dengan rencana untuk mengkhianati negara-negara Selatan," kata Tasneem Essop Direktur Eksekutif CAN.
Tetap bertahan
Kelompok Global Climate Justice Network menyoroti jalannya konferensi dan sidang pleno yang dianggap mengabaikan suara negara berkembang. Agenda sidang yang dibuat Presidensi COP29, yang dipegang oleh Azerbaijan, dibuat tanpa mengindahkan suara peserta konferensi.
"Agenda ini dimungkinkan oleh kepemimpinan UNFCCC dan COP29 yang telah berulang kali menyimpang dari protokol yang ditetapkan, termasuk dalam pleno penutupan di mana keputusan tentang NCQG disahkan oleh presidensi, dan dirayakan oleh Sekretaris Eksekutif, tanpa konsensus oleh Para Pihak dan banyak pemerintah yang menolak," tulis pernyataan mereka.
India dan beberapa negara menyatakan penolakan hasil pleno namun penolakan itu hanya dicatat. Meski situasi dianggap sangat buruk dan mengecewakan, kelompok koalisi NGO untuk keadilan iklim menyatakan akan tetap bertahan.
"Kami tidak akan mundur menuntut keadilan iklim, solusi nyata, dan pendanaan iklim publik yang kami butuhkan untuk mencapai transisi yang adil dan merata dari bahan bakar fosil," tekad mereka.
Kini pandangan diarahkan ke COP30 di Belem, Brazil di mana isu-isu mendesak lain seperti kepatuhan negara peserta pada target pengurangan emisi (NDC) masing-masing untuk menjaga suhu bumi tak melampaui 1.5 derajat akan dibahas.
Laporan ini ditulis oleh Dewi Safitri yang meliput COP29 dari Baku, Azerbaijan dengan fellowship dari EJN dan Stanley Center for Peace and Security.(bac/bac)