Jakarta, CNN Indonesia --
Penerapan hukum Islam yang turut ditetapkan sebagai salah satu jenis hukum yang berlaku di Indonesia saat ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Indonesia memang tidak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bernegara, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam diterapkan dalam hukum positif baik di tataran Undang-undang hingga tingkat Peraturan Daerah (Perda).
Penerapan syariat Islam yang diejawantahkan dalam peraturan di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Di lapangan, hukum positif Indonesia yang dipengaruhi hukum syariah Islam ada di tataran produk UU hingga peraturan daerah (Perda).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika di tarik ke belakang, Indonesia sudah membuat hukum bernuansa Islami sejak tahun 1974 dengan dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Aturan ini menyatakan sahnya perkawinan hanya dapat diperoleh apabila sah menurut agama.
Pasca Orde Baru, peraturan-peraturan daerah (Perda) juga mulai marak yang menempatkan syariat sebagai rujukan utama. Perda syariah itu muncul mulai dari Aceh, Bulukumba, Padang, Solok, Pasaman Barat, Depok, Cianjur, Kota Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Banjar Baru, Enrekang, Gowa hingga Maros.
Ayu Saputri (32) seorang karyawan swasta mengaku tak setuju jika ada peraturan bernuansa syariat Islam malah mendiskriminasi aktivitas perempuan. Ia menyoroti di beberapa daerah sempat ada Perda yang melarang perempuan keluar malam hingga wajib keluar rumah dengan berbusana Muslim.
Baginya, perda-perda seperti demikian cenderung diskriminatif dan menjadikan perempuan sebagai objek sehingga membatasi hak.
"Kan ada tuh Perda yang ngelarang perempuan keluar rumah sampai Perda soal berbusana tertentu bagi perempuan. Kalau itu tidak setuju. Karena membatasi hak kita juga. Apalagi Indonesia kan beragam, bagaimana dengan yang agama non Islam?" kata Ayu kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (22/3).
Diketahui Provinsi Gorontalo sempat mengeluarkan Perda Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat yang salah satu pasalnya mengatur perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada pukul 24.00 sampai dengan pukul 04.00 waktu setempat.
Kemudian Perda ini juga mengatur setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan.
Kemudian terdapat aturan yang dianggapnya mendiskriminasi perempuan dalam berpakaian seperti Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 mengatur tentang pakaian Islami, termasuk jilbab, yang harus menutup aurat. Kemudian terdapat Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam Dan Norma-norma Sosial Masyarakat yang mengatur wajib berpakaian yang menutupi batasan aurat sesuai dengan ajaran agama Islam jika sudah akil baligh.
Ayu berpendapat ajaran Islam justru mengutamakan peningkatan derajat dan martabat perempuan, bukan memandang perempuan sebagai komoditas dan seperti dibatasi haknya.
Baginya, merasa tak adil apabila peraturan berbau syariah memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan.
"Masa yang ditarget perempuan terus, harusnya kan setara antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tak boleh jadi objek. Harus kedua belah pihak [yang diatur] jika ingin membuat aturan. Islam kan ngajarin kepada laki-laki dan perempuan agar menjadi manusia bermoral," kata Ayu.
Meski begitu, Ayu mendukung pelbagai Perda yang dikeluarkan pemda yang banyak membela hak perempuan.
Ia mencontohkan Pemprov Jawa Timur sempat mengeluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Kemudian Kota Bekasi juga mengeluarkan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan.
Baginya, contoh Perda tersebut justru cocok memiliki semangat 'Perda Syariat Islam' karena isinya mengedepankan perempuan sebagai kelompok rentan dan tertindas yang menjadi kepedulian Islam.
"Islam mengajarkan memuliakan perempuan juga kan, bukan mendiskriminasi. Perda yang nuansa memuliakan dan melindungi perempuan seperti di Jatim dan Bekasi itu justru yang betul-betul Perda syariah," kata dia.
Seorang warga menyatakan tak setuju jika perda syariat Islam membatasi perempuan dalam beraktivitas. (Foto: CNN Indonesia/Ramadhan Rizki)
Di sisi lain, Mareta Putri (25), perawat di salah satu rumah sakit swasta, sependapat jika hukum berdasarkan nilai Islam diterapkan di Indonesia. Ia mencontohkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang melarang pernikahan beda agama tak perlu diubah lagi.
Baginya, aturan ini sudah didasari dengan ajaran agama Islam untuk menikahi sesamanya.
"Setuju aja kalau sesuai syariat Islam. Misalnya saya setuju dengan UU Perkawinan. Karena sudah sesuai dengan ajaran agama. Juga harus jelas pencatatannya," kata Mareta, Selasa (25/3).
Selain itu, Mareta juga setuju dengan konsep hukum perbankan syariah yang ditetapkan pada aktivitas bank. Baginya, ajaran Islam melarang riba sehingga dibutuhkan alternatif bank yang sesuai konsep syariat Islam.
Mareta juga setuju dengan penerapan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Melalui UU tersebut Baznas menjadi lembaga yang memiliki kewenangan dominan dalam mengelola rukun Islam ketiga tersebut.
Baginya, lembaga zakat seharusnya bisa diperluas lagi hingga ke tingkat desa-desa lantaran bisa membantu orang miskin di skala yang lebih mikro.
"Konsep Islam berzakat itu sangat bagus. Terutama untuk membantu orang miskin. Itu di bentuk aja [lembaga zakat] sampai tingkat desa atau RW gitu, kan bisa berdampak banyak banyak orang miskin di tiap level bawah. Jadi lebih dekat membantunya" kata dia.
Foto: CNN Indonesia/Ramadhan Rizki
Rini Suryati
Sementara Rini Suryati (55) seorang pegawai swasta, juga setuju dengan konsep hukum berdasarkan syariat Islam dengan kondisi tertentu.
Semisal ia mendukung UU tentang Perkawinan lantaran sudah sesuai ajaran agama jika menikah harus dengan agama yang sama. Selain itu, Rini juga menyinggung ada fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
"Mengenai hukum pernikahan beda agama, dalam ajaran Islam wanita maupun laki-laki tidak boleh menikah dengan yang tidak beragama Islam. Secara pribadi aku masih setuju pernikahan seagama, karena menyangkut ibadah dan anak-anak," kata Rini.
Akan tetapi, Rini tak setuju dengan Perda yang bernuansa syariat Islam yang batasi aktivitas perempuan. Ia menolak jika ada aturan yang dibuat pemerintah seperti kewajiban berbusana muslim.
Baginya, ajaran Islam selalu menekankan upaya peningkatan derajat dan martabat perempuan.
"Menurutku sebagai ibu,istri yang bekerja Perda bernuansa syariah mengenai perempuan malah marjinalisasi perempuan," kata Rini.