Kenapa Oscar Lebih Pilih Grandma Dibanding Women from Rote Island?

3 months ago 50

Endro Priherdityo

Endro Priherdityo

icon-email

Jurnalis CNN Indonesia kelahiran Jakarta, menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor dan hobi mengomentari segala yang terjadi di sekitarnya.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Ada yang menarik dari pengumuman daftar pendek calon nominasi Oscar 2025 yang dirilis pada Selasa (17/12) sore waktu Los Angeles. Thailand untuk kali pertama dalam sejarah sukses menembus daftar pendek kategori Best International Feature Film Academy Awards ke-97, satu pencapaian yang belum pernah diraih Indonesia. 

Padahal secara portofolio, Indonesia yang diwakili Women from the Rote Island cukup menjanjikan. Women from Rote Island mengisahkan perjalanan perempuan pekerja migran Indonesia di Malaysia dan mengalami kekerasan seksual.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film debut Jeremias Nyangoen itu juga punya keunikan khas, yakni mayoritas diperankan oleh orang asli Pulau Rote, salah satu pulau terluar di Indonesia. Pun, menampilkan keindahan pulau dan kebudayaan di sana.

Women from Rote Island juga rilis perdana di salah satu festival besar internasional, Busan International Film Festival, dan sempat berkeliling ke berbagai festival film lainnya di berbagai negara meski bukan yang namanya mentereng.

Apalagi, film ini menjadi pilihan para anggota Akademi Piala Citra sebagai Film Panjang Terbaik 2023. Kemudian oleh Komite Film Indonesia untuk Oscar yang diisi berbagai sineas senior, film ini ditunjuk sebagai wakil Indonesia ke Oscar.

Meskipun 'film festival' ini terbilang tak memiliki performa box office yang prima, dengan capaian itu, setidaknya Women from Rote Island dinilai para sineas Indonesia memiliki kualitas untuk dipilih sebagai wakil negara.

Film Women from Rote Island (2023)Women from Rote Island mengisahkan perjalanan perempuan pekerja migran Indonesia di Malaysia dan mengalami kekerasan seksual. (Bintang Cahaya Sinema via BIFF)

Sementara itu, Thailand memilih How to Make Millions Before Grandma Dies sebagai kandidat mereka ke Oscar 2025. Secara portofolio per-festival-an, film ini sebenarnya tak berbeda jauh dari Women from Rote Island.

Grandma yang ditulis oleh Pat Boonnitipat dan Thodsapon Thiptinnakorn ini bahkan tidak tayang di festival besar semacam Busan. Film ini lebih memilih ke Asia-Pacific Film Festival dan ke festival yang notabenenya tidak 'seprestise' Big Five alias Venice, Cannes, Berlin, Toronto, dan Sundance.

Secara unsur kebudayaan lokal pun, Grandma juga tidak sekaya itu. Film yang digarap Pat Boonnitipat ini lebih banyak menampilkan kehidupan kontemporer penduduk Bangkok. Bahkan, film ini saya bilang 'bebas' dari unsur LGBT dan hedonistik khas Hollywood.

Grandma juga 'cuma' lebih unggul dari segi pilihan penonton. Hal itu terlihat dari capaian box office yang terbilang luar biasa untuk film Thailand, baik di kampung halamannya ataupun di negara orang seperti Indonesia. Di ranah festival pun, film ini juga lebih banyak memenangkan kategori pilihan penonton, bukan pilihan juri.

Namun ketika juri The Academy lebih memilih Grandma dibanding Women from Rote Island dalam daftar pendek --sekali lagi daftar pendek, bukan nominasi-- Best International Feature Film Oscar 2025, saya pun bisa tersenyum.

Keputusan The Academy memilih Grandma seolah menegaskan bahwa film yang menarik minat juri bukan yang harus tayang di festival mentereng, atau membahas isu berat, atau film 'artsy' yang cuma bisa dimengerti segelintir orang atau mereka yang nyebut dirinya "sinefil banget".

Film sesederhana yang membuat jutaan penonton menangis di bioskop tanpa punya portfolio festival mentereng pun, nyatanya juga bisa bersanding dengan film-film jagoan yang memenangkan penghargaan di Big Five semacam Emilia Perez.

Memang sebenarnya sulit mendefinisikan standar para juri The Academy dalam menilai film yang bisa masuk daftar pendek, ataupun nominasi. Meski kualitas sinematik sudah punya standar penilaian tertentu, film dan seni pada akhirnya adalah soal selera.

How To Make Millions Before Grandma Dies menceritakan M (Billkin) memutuskan berhenti sekolah demi merintis karier sebagai gamecaster. Namun, karier itu tidak berjalan lancar hingga M tidak kunjung mendapat penghasilan.Thailand memilih How to Make Millions Before Grandma Dies sebagai kandidat mereka ke Oscar 2025. (dok. GDH 559 via IMDb)

Selama ini, tema humanis memang dianggap banyak pihak sebagai benang merah para juri memilih film untuk Oscar. Namun pertanyaannya, humanis seperti apa?

Women from Rote Island bertema humanis, mengangkat perjuangan seorang perempuan korban kekerasan seksual yang terhimpit dengan berbagai masalah sosial lainnya. Ditambah film ini membawa unsur kebudayaan lokal yang kental.

Namun, dengan segala hormat kepada Jeremias, Women from Rote Island saya lihat kalah unggul dari Grandma dalam hal memengaruhi emosi penonton, yang sejatinya hal paling sederhana dari aspek humanis.

Memengaruhi ini bukan hanya mampu bikin menangis, atau marah, tapi adalah bagaimana sebuah film mampu terhubung atau beresonansi dengan penontonnya.

Bagi saya, hal yang membuat Grandma bisa sangat menguras air mata adalah hubungan seorang cucu dengan neneknya, atau hubungan anak dengan ibunya. Satu hal yang nyaris semua manusia di Bumi punya, termasuk para anggota The Academy.

Grandma juga memiliki penggarapan naskah yang sangat matang. Boonnitipat dan Thiptinnakorn pelan-pelan menghanyutkan emosi penonton selama durasi berjalan. Membuat terhubung dengan kisah Grandma hanyalah satu-satunya opsi yang dimiliki penonton.

Grandma tak perlu tayang di Big Five untuk bisa berkepala tegak berdiri di antara 85 film lainnya dari seluruh negara yang maju ke Oscar. Grandma membuktikan kisah "Asian value" yang dimiliki bisa jadi modal yang cukup dan pemecah rekor sejarah perfilman Thailand.

[Gambas:Youtube]

Capaian Grandma ini juga ada baiknya jadi bahan refleksi pihak-pihak yang mengampu perfilman Indonesia. Film Indonesia dan Thailand sejatinya 11-12, dari segi budaya, kualitas sinematik, selera penonton, hingga teknologi yang digunakan.

Namun ada satu yang esensial dan kurang banyak dimiliki perfilman Indonesia: kualitas penuturan cerita dalam layar lebar. Indonesia banyak memiliki film dengan gagasan yang cemerlang, mengingat begitu banyak cerita sosial dan budaya yang dimiliki, ditambah keindahan alamnya.

Sayangnya, tak banyak sineas yang mampu menghasilkan cerita yang bertutur, yang bisa membawa penonton ke dalam dunia di film itu tanpa harus mengangkat kisah berat. Kalaupun ada, lagi-lagi sayangnya, jarang mendapatkan apresiasi yang layak.

Bila boleh berandai jadi anggota Komite, saya mungkin akan memilih Tuhan, Izinkan Aku Berdosa atau Home Sweet Loan sebagai kandidat Indonesia ke Oscar 2025. Alasannya seperti yang sudah saya jabarkan di atas, aspek penuturan dan resonansi atas situasi penonton saat ini.

Memotret masalah kekerasan seksual yang dialami para pekerja migran memang penting, tapi saya rasa penonton akan lebih merasa terhubung pada kisah kekerasan seksual dalam lingkup komunitas agama mengingat agama sangat lekat dalam kehidupan banyak masyarakat Indonesia, atau beban berat sandwich generation yang memang dirasakan jutaan anak muda saat ini di Indonesia.

Selain itu, secara pragmatis, kedua film tersebut berasal dari studio-studio yang saya rasa memiliki kapital cukup untuk mengadakan screening atau nonton bareng anggota The Academy serta jurnalis film di Los Angeles. Sehingga, tak melulu menunggu harapan kosong dapat kucuran dana dari pemerintah.

Karena bagaimanapun juga, berlaga di Oscar butuh modal. Minimal adalah mengenalkan film yang dibawa kepada mereka --orang asing-- selaku penyelenggara. Ditambah dengan mengundang jurnalis film di sana, film Indonesia akan bisa lebih mungkin dikenal oleh para anggota The Academy lainnya.

Namun sekali lagi, pemilihan nominasi dan pemenang Academy Awards memang masih menjadi misteri yang mungkin akan sulit dipecahkan secara matematis, karena dilakukan dengan cara voting secara tertutup. Bahkan sineas Hollywood saja masih sering terkejut dengan hasil nominasi dan pemenang Oscar. Apalagi kita.

[Gambas:Youtube]

(end/end)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi