Mendedah Hubungan Indonesia-Uni Eropa di Tangan Prabowo Subianto

1 month ago 25

Aniello Iannone

Aniello Iannone

icon-email

Penulis adalah Indonesianists, Peneliti Kajian Kawasan dan Politik Internasional di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK), dan staf pengajar di Universitas Diponegoro.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Era kepemimpinan Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto berpotensi jadi titik balik bagi kebijakan luar negeri Indonesia, dengan implikasi signifikan bagi hubungan dengan Uni Eropa (UE).

Meskipun perhatian dunia cenderung terfokus pada hubungan Indonesia dengan China dan Amerika Serikat, hubungan UE-Indonesia pun patut mendapatkan perhatian besar.

Apalagi, Indonesia punya peran penting sebagai aktor kunci di kawasan Indo-Pasifik serta hubungan UE-Indonesia pun berdampak besar bagi perekonomian. Jika dipandang lewat sudut pandang hubungan internasional berbasis neo-realisme dan Ekonomi Politik Internasional (IPE), hubungan ini menunjukkan interaksi yang kompleks antara kedaulatan nasional, ketergantungan ekonomi, dan dinamika normatif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia dan UE: ketergantungan yang asimetris

Dengan populasi penduduk hampir 300 juta jiwa, Indonesia merupakan ekonomi terbesar di ASEAN, dan memegang peran penting dalam strategi ekonomi dan keamanan UE di Asia Tenggara.

Pada 2023, UE menjadi mitra dagang kelima terbesar Indonesia, dengan hubungan terjalin lewat perjanjian perjanjian seperti Partnership and Cooperation Agreement (PCA) dan negosiasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

Namun, ketergantungan antara kedua pihak bersifat asimetris: sementara Indonesia mendapatkan keuntungan dari akses ke pasar dan investasi Eropa, bagi UE, Indonesia adalah pasar strategis tetapi bukan yang tak tergantikan.

Dinamika ini mencerminkan logika negara kekuatan menengah yang sedang berkembang seperti Indonesia, yang berusaha memaksimalkan otonomi strategis dengan menyeimbangkan hubungan dengan kekuatan global besar.

Bagi Indonesia, terutama selama era Presiden ke-7 Joko Widodo, menjaga keseimbangan antara UE, China, dan Amerika Serikat menjadi penting untuk menghindari ketergantungan sepihak.

Namun, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap UE membuat pemerintah kala itu sulit untuk mengejar otonomi tanpa melakukan kompromi pada isu-isu normatif dan lingkungan.

Peran nasionalisme ekonomi di era Prabowo

Selama dua periode memimpin, Jokowi mengadopsi kebijakan luar negeri yang sangat pragmatis, sejalan dengan prinsip bebas-aktif. Pendekatan ini berfokus pada kepentingan ekonomi domestik, dengan menghindari keberpihakan eksplisit pada kekuatan besar.

Prioritas Jokowi adalah memperkuat infrastruktur dan pembangunan ekonomi dalam negeri, dengan kebijakan luar negeri sebagai alat untuk menarik investasi dan mendukung pertumbuhan.

Namun, Prabowo Subianto bisa jadi menggunakan pendekatan yang lebih tegas dan nasionalistik.

Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo pada Agustus lalu secara terbuka mengkritik UE, khususnya terkait regulasi seperti EU Deforestation Regulation (EUDR), yang akan mulai berlaku pada Desember 2024. Regulasi ini mengharuskan produk yang masuk ke pasar Eropa bersertifikat bebas deforestasi, yang dianggap Prabowo diskriminatif dan merugikan negara berkembang.

Sikap resistensi Prabowo mencerminkan upaya untuk melindungi sektor ekonomi strategis seperti kelapa sawit, yang penting bagi PDB dan lapangan kerja di Indonesia.

Selain itu, pendekatan ini mencerminkan visinya terhadap politik luar negeri yang lebih berani memihak demi kepentingan nasional, yang mungkin berbeda dari era sebelumnya.

Hal ini juga terlihat dalam langkah Indonesia untuk menjadi negara mitra BRICS.

Prabowo tampaknya memandang BRICS sebagai alternatif terhadap keseimbangan kekuatan tradisional yang didominasi Barat. Apalagi perluasan keanggotaan baru BRICS juga memperkuat potensi blok tersebut jadi platform mempromosikan tatanan global yang lebih multipolar.

Lebih jauh, negara-negara BRICS berbagi pendekatan yang menekankan penghormatan terhadap kedaulatan nasional dan agenda pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang regulasi yang diberlakukan oleh pihak eksternal.

Pandangan ini sejalan dengan posisi Prabowo dalam isu-isu seperti regulasi kelapa sawit dan permintaan lingkungan dari UE.

Namun, pendekatan BRICS bertentangan dengan agenda normatif UE, yang menggunakan regulasi untuk mengekspor nilai-nilai terkait keberlanjutan dan hak asasi manusia.

Implikasi geopolitik dan strategis

Dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan nasional, Prabowo berisiko memperburuk hubungan dengan Brussel, yang dapat membawa dampak besar.

Dari sisi ekonomi, UE adalah pasar ekspor terbesar ketiga bagi Indonesia dan sumber penting investasi langsung asing (FDI). Sektor-sektor seperti kelapa sawit, tekstil, dan perikanan dapat mengalami kerugian besar, mengingat pasar Eropa adalah saluran utama untuk menghasilkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja.

Di luar perdagangan, kerja sama UE-Indonesia juga mencakup teknologi, energi terbarukan, dan pembangunan infrastruktur. Penurunan dalam kerja sama ini dapat menghambat modernisasi ekonomi Indonesia, memperlambat transisi energi, dan membatasi akses ke dana internasional yang terkait dengan inisiatif keberlanjutan.

Selain itu, menjauh dari UE dapat mengurangi kemampuan Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan besar. Misalnya, ketergantungan yang lebih besar pada China dapat membatasi fleksibilitas Jakarta di kawasan Indo-Pasifik.

UE juga memainkan peran penting dalam forum multilateral terkait isu-isu global seperti perubahan iklim dan tata kelola perdagangan, sehingga kehilangan dukungan dari UE dapat melemahkan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional.

Hubungan UE-Indonesia berada dalam konteks tatanan internasional yang sedang bertransisi menuju multipolaritas.

Indonesia, sebagai kekuatan menengah yang sedang berkembang, berusaha menyeimbangkan otonomi strategisnya dengan kebutuhan kerja sama ekonomi. UE, pada gilirannya, perlu menyesuaikan agenda normatifnya dengan realitas pembangunan negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Keberhasilan hubungan ini akan bergantung pada kemampuan kedua pihak untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan yang saling bertentangan.

Kemitraan yang pragmatis, berdasarkan kepentingan bersama seperti transisi energi, pembangunan infrastruktur, dan keamanan regional, dapat membantu mengurangi ketegangan dan memperkuat kerja sama bilateral.

Hanya melalui dialog yang konstruktif dan adaptif hubungan yang stabil dan saling menguntungkan dapat dipertahankan di tengah tantangan dari tatanan global yang semakin kompetitif dan terfragmentasi.

(vws/vws)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi