"Aamiin!"
Suara amin paling kencang selepas doa terdengar dari sekelompok orang yang mengelilingi tumpeng di markas Slank, Jalan Potlot III Nomor 14, Pancoran, Jakarta Selatan, pada siang hari di 10 Desember. Di antara mereka, terlihat Bunda Iffet yang berwajah semringah.
Hajatan sederhana itu merayakan sejumlah hari bahagia. Ivan berulang tahun sehari sebelumnya, sementara Bimbim dan Slank juga akan ulang tahun di penghujung Desember. Semua personel pun berkumpul kecuali Abdee yang masih dalam masa pemulihan.
Para kru, kerabat, dan personel ikut berkumpul, bercengkrama, berdoa, suasana hangat di tengah rintik-rintik hujan dari langit Jakarta yang bikin sendu. Namun dari semua itu, momen Slank yang menginjak usia 41 tahun pada 26 Desember 2024 terasa jadi magnet.
Kami berbincang dengan Slank seusai perayaan hangat itu. Apa rasanya menjadi band yang masih eksis sampai berusia paruh baya?
"Same old, same old," ucap Kaka seraya tersenyum.
Kaka agaknya tak perlu merayakan 41 tahun dengan perubahan besar-besaran. Bagi sang vokalis, itu business as usual. Ia masih keliaran dari panggung ke panggung, keluar masuk studio, menyapa Slankers, hingga menatap masa depan dengan ide dan rencana-rencana baru. Sama seperti Potlot dan studionya yang nyaris tak banyak berubah dari tahun ke tahun, setia merekam perjalanan spiritual Slank dari lagu ke lagu.
Bimbim tak jauh berbeda. Semua tetap sama meskipun langkahnya sudah amat jauh dari pertama kali membentuk Slank bersama Bongky, Denny, Erwan, dan Kiki pada 1983. Umur, bagi pentolan bernama lengkap Bimo Setiawan Almachzumi itu, bagai variabel nomor sekian yang tidak perlu dipusingkan.
"Sama saja sih sebenarnya. Never too old to rock n roll," celetuk Bimbim.
Ridho-Ivan yang duduk mengapit Bimbim-Kaka mengangguk setuju dengan jawaban singkat itu. Entah karena cuek atau kelewat bijak, tapi reaksi itu seolah simbol betapa Slank tidak doyan kasih petuah meski menyandang label ‘legendaris’.
Namun, tanpa bercuap wejangan hidup pun, riwayat perjalanan panjang Slank terpatri dalam sejarah musik dan kebudayaan Indonesia. Slank, dari kumpulan anak nongkrong sambil genjrang-genjreng, jadi salah satu band yang paling berpengaruh di Indonesia.
Semua berawal ketika Bimbim punya misi membuat grup musik baru usai band lamanya, Cikini Stone Complex (CSC), bubar. Bimbim lalu mengajak Denny BDN, Erwan, dan Kiki membentuk band Red Evil yang berkiblat kepada musik rock, terutama The Rolling Stones.
Di tengah perjalanan, Red Evil menggaet Bongky untuk mengisi pos gitar. Mereka pun ganti nama jadi Red Eyes dan akhirnya sepakat berubah menjadi Slank. Nama itu dipilih karena kuintet tersebut dikenal selengean setiap kali manggung.
Slank mengalami dinamisasi bongkar pasang personel pada masa-masa awal. Personel datang dan pergi, dengan sangat cepat. Kiki, Erwan, dan Bongky hengkang dengan alasan masing-masing. Banyak musisi silih berganti isi pos kosong, sementara Bimbim dan Denny BDN tetap bertahan.
Empat tahun bongkar pasang personel, mereka sampai pada formasi Bimbim (drum), Denny BDN (bass), Jaya (gitar), Pay (gitar), dan Sammy (vokal) yang dikenal sebagai Formasi 8. Pada 1988, Denny mundur menyisakan Bimbim jadi the last man standing. Slank kemudian sampai pada Formasi 13 pada 1989, beranggotakan Bimbim (drum), Kaka (vokal), Bongky (bas), Pay (Gitar), dan Indra (keyboard).
Usai gejolak formasi, Slank dihantam bagai narkoba pada dekade ‘90-an bersamaan dengan maraknya benda haram itu menyelimuti industri hiburan. M. Yaser Arafat dalam bukunya, Slank, Politik, Kebudayaan, dan Musik Rock di Indonesia (2020), menyebut puncak zaman kegelapan Slank terpatri dalam album Minoritas (1995).
Kecuali Bongky, awak band itu menjadi tertutup, emosional, curiga satu sama lain, saling bohong, dan bermusik seala-kadarnya. Ombak besar itu nyaris bikin kapal Slank luluh lantak. Niat bubar tidak terelakkan.
“Never too old
to rock and roll.”
Bimbim
Namun, selalu ada tangan-tangan yang menjaga Slank. Sebut saja cerita legendaris Bimbim saat diteror seorang Slanker dengan surat bertinta darah yang berisi ancaman bakal diburu bila band itu benar-benar bubar.
Pelangi habis badai memang benar adanya. Terutama saat Slank yang tersisa Bimbim, Kaka, dan Ivan pada 1997, kedatangan Abdee dan Ridho. Slank Formasi 14 menjadi titik balik Slank, yang kemudian melahirkan album ikonis mereka, Tujuh (1998).
Selain itu, Bimbim, Kaka, dan Ivanka juga sanggup bebas dari ketergantungan. Bunda Iffet berperan penting karena dengan sabar menemani mereka berobat, termasuk ke tempat rekomendasi Pay di Teguh Wijaya. Pada Februari 2000, Slank membulatkan tekad bersih dari narkoba. Mereka makin giat merilis album dan manggung, bahkan berkutat dalam kegiatan sosial.
Pergeseran lanskap musik pascareformasi juga sanggup dihadapi Slank. Mereka bisa berganti corak musik, gaya, hingga penampilan sesuai tuntutan zaman. Slank tetap punya basis penggemar militan sebagai band indie penentang arus utama, tapi juga diterima di ‘kandang’ pop mainstream seperti MTV, Inbox, hingga Dahsyat.
Manuver Slank juga terasa di luar musik. Sedekade terakhir saja, Slank masih rutin menyoroti isu sosial politik Indonesia dengan berbagai sikapnya, yang kadang jadi kontroversi. Misalnya jadi musisi terdepan mendukung Joko Widodo dalam Pilpres 2014 dan 2019, dan bergeser ke pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD pada Pilpres 2024.
Seteru dengan politikus juga pernah terjadi. Seperti saat Kaka menyindir dan meledek mendiang Haji Lulung alias Abraham Lunggana pada 2015 yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Aksi Kaka itu berujung somasi dari Haji Lulung.
Bukan rock n roll bila itu semua bikin Slank kendor. Mereka tetap menyuarakan sikap politik, meski harus menerima risiko berseberangan dengan pihak-pihak tertentu. Termasuk melalui lagu, seperti materi kampanye SALAM M3TAL, lagu Polisi Yang Baik Hati yang memantik polemik, hingga sempat ubah lirik Anak Mami ketika ramai isu jet pribadi Kaesang.
Terlepas dari kontroversi dan roller coaster karier, Slank tetap melangkah dengan nafas musiknya hingga melewati tataran empat dasawarsa. Capaian ini bukan hal yang dibayangkan Bimbim ketika Slank debut manggung di Universitas Nasional Jakarta, 1983 lalu. Ia lebih memilih mengafirmasi dengan hal yang sederhana.
"Kayak, ‘Ka [Kaka], bener lo nyanyi mau tinggi segitu? Emang kita mau sampai kapan manggung? Kalau mau sampai tua, jangan tinggi-tinggi ngambilnya." cerita Bimbim.
Musik Indonesia pada dekade ‘70-an dan awal ‘80-an beda jauh bila dibandingkan saat ini. Kala itu, Indonesia diterpa ‘angin’ Barat berupa musik rock n roll yang menjelma sebagai mazhab musik berisik dan berumatkan anak-anak muda. Termasuk untuk anak-anak Perguruan Cikini Jakarta, seperti Bimbim.
Ia mengandrungi sang World's Greatest Rock & Roll Band yang kala itu beranggotakan Mick Jagger, Keith Richards, Ronnie Wood, Ian Stewart, dan Bill Wyman. Dengan beberapa temannya, Bimbim membawakan lagu The Rolling Stones dan musik mereka sendiri, yang kemudian berevolusi menjadi Slank.
Bukan cuma musik The Rolling Stones, Bimbim cs mengadopsi semangat sang pemilik Hot Lips baik di dalam ruang studio atau di atas panggung. M Yaser Araft dalam buku Slank, Politik, Kebudayaan, dan Musik Rock di Indonesia (2020) menyebut The Rolling Stones menjadi gerbang bagi Slank ‘belanja’ referensi dan kultur budaya musik rock ala Barat.
"Selain musik, kebudayaan modern ala Barat juga dirujuk oleh Slank. Kritik, pemberontakan, dan protes Slank terhadap kebudayaan bangsanya kerap disimbolkan oleh pemakaian istilah 'orang tua' dan 'generasi tua.'" tulis Yaser.
Kini, Slank sudah berusia 41 tahun. Mereka menelurkan 25 album studio, 9 album kompilasi, 3 album internasional, 4 mini album, 3 album soundtrack, dan 21 single. Diskografi itu terbentang dalam spektrum genre musik yang luas: pop, reggae, ballad, melayu, punk, funky, jazz, etnik, sampai alternatif. Namun, rock n roll dan blues tetaplah pemenangnya.
"Aku pikir blues, rock itu sebetulnya akar," ucap Kaka. "Maksudnya, kita emang base-nya dari rock dan blues. Tapi kita kalau bikin karya baru itu berusaha untuk sebebas mungkin."
Kebebasan itu terlihat dari bagaimana Slank meracik albumnya, mulai dari Studio Parah di Potlot, hingga ke Puncak. Seperti saat menggarap album Joget (2023), mereka kumpul di vila keluarga Ivan untuk menggenapi karya yang sudah lama mereka inginkan untuk album ke-25 itu.
Mereka menyebutnya dengan istilah catchy: Javanese rock n roll.
"Kalau harus meng-genre-kan diri, kita ingin jadi Javanese rock n roll. Itu ide awalnya album Joget," ungkap Kaka. "Sebetulnya itu udah lama banget ingin kayak gitu. Jadi, kalau misalnya ada yang tanya, 'Slank itu genrenya apa?' Kita ingin nyebutnya itu dengan bikin album Joget."
"Rock n roll, tapi [musiknya] lagu dolanan Indonesia." kata Bimbim.
"Lagu-lagu zaman kecil," timpal Kaka.
"Notasinya begitu, kayak Bang-Bang Tut, misalnya." balas Ridho.
"Agak-agak eksperimen di ritmis, sih. Rekamannya eksperimen karena beda sama album-album Slank yang lain." papar Ivan.
Javanese rock n roll bahkan jadi bendera mimpi baru Slank. Album Joget (2023) jadi langkah pembuka mengeksplorasi lebih jauh lagu-lagu dolanan daerah lain di Indonesia. Beberapa sudah masuk radar mereka karena terpikat kebengalan dalam lirik lagunya. Namun, mau diapakan referensi itu, Slank mengaku belum punya rencana spesifik.
"Ternyata di Indonesia banyak dolanan yang wild. Sageru Manis Pait, itu cerita soal minum dan mabuk ramai-ramai begitu. Ada [lagu] orang Sumatera Utara, Lissoi." ungkap Bimbim.
Seperti yang dibilang Kaka, Slank intinya tetap berakar pada rock n roll, juga blues. Dua musik itu, disadari atau tidak, membantu mereka tetap melekat dengan zaman sebagai grup musik kawula muda. Kaka bahkan mengibaratkan Slank dan lagu-lagunya sebagai “turorial badung” khas anak muda.
Meski begitu, Slank melintas zaman juga dengan tangan terbuka terhadap ‘musik komersial’ yang lebih nge-pop dan melankolis, macam Ku Tak Bisa dan Terlalu Manis. Ada pula yang dibalut orkes melayu: Orkes Sakit Hati. Karya spektrum melebar ini bahkan jadi andalan mengumpulkan recehan streaming, yang sekaligus dinilai positif oleh Slank sebagai pengenalan ke generasi yang baru nongol.
"Itu gateway kan. Jadi, kayak pintu atau jendela, lah. Silakan masuk kalau mau tahu lebih," ungkap Kaka. "Karena lagu yang hit, yang notabene slow itu part of sesuatu yang kita lahirkan. Itu anak [Slank] juga, bukan sesuatu yang cela."
"Kadang-kadang Kaka nyanyi, genjrang-genjreng lagu lama, eh nyangkut satu. Terus dia mundur, atau maju, atau ke kiri-kanan. Enggak apa-apa, sih," imbuh Bimbim.
Di sisi lain, Slank menyadari musik rock global zaman kiwari ini memang sedang mengering. Bagi Bimbim, makin jarang band rock yang mampu tembus panggung mainstream, apalagi mendominasi layar kaca dan tangga lagu.
"Di dunia saja saat ini lagi berantakan!" kata Bimbim.
Paling mentok, ia dan personel lain hanya mendapati band-band jadul kembali merangsek, dari Judas Priest sampai Black Rose. Nasib musik rock secara global itu, bagi Slank, juga terasa di Indonesia. Ada kesulitan dalam mendapat asupan musik rock baru, berbeda jauh dibanding ketika mereka nge-hit di layar kaca pada 2000-an.
"Kalau zaman dulu kan ada satu stasiun yang betul-betul kita lihat ataupun muterin musik terus. Saat ini kan semua, banyak," kata Ridho. "Indonesia aja saking banyaknya gue sampai enggak dapat satu musisi yang baru lahir tuh. 'Oh, dia baru.' Karena terlalu banyak yang lahir."
Namun bukan berarti rock sudah mati. Di Indonesia, grup musik dengan aliran rock n roll masih eksis, bahkan beberapa di antaranya bisa meraung-raung di bawah payung independen. Slank pun menyadari sebagian di antaranya. Hasil ulikan agar tak ketinggalan zaman itu membuat Slank tahu Sukatani, band punk dari Purbalingga, dan band asal Madura bernama Lorjhu’.
"Ada. Sukatani, gue cari kemarin. Sukatani kan? Yang punk," kata Bimbim. "Lorjhu’ juga bagus, kemarin kita dapat satu lagi."
Rutinitas menghimpun musisi rock emerging ke dalam katalog itu berlanjut dengan mimpi baru. Slank ingin menggelar suatu festival musik khusus untuk band-band jalur independen, tentu dengan warna musik Javanese rock n roll ala Slank.
"Kita punya mimpi punya festival yang isinya indie-indie Javanese Rock n Roll, begitu." ungkap Bimbim. "Yang aneh-aneh, yang malah berbahasa daerah. Asyik tuh."
"Apa lagi? Kita mau bikin apa lagi, ya?"
Gairah Kaka untuk bikin hal baru bersama Slank masih menyala, padahal usia band itu makin dekat separuh abad. Tampaknya energi rock n roll memang bikin Slank ogah menjalani masa dewasa dengan santai. Masih ada rasa penasaran di benak mereka, meski Bimbim akui mencari ide baru memang enggak gampang.
"Kalau sudah 25 album, udah 41 tahun, ya rada harus kerja keras untuk do something atau make a dream come true apa lagi," kata Bimbim.
Beberapa mimpi sudah masuk katalog, mulai dari ekspedisi lagu daerah hingga rekaman di sejumlah negara. "Rekaman di London belum, rekaman di Jamaika belum," kata Bimbim. Namun pada akhirnya, mimpi sekaligus perhatian terbesar Slank adalah untuk jutaan orang yang tetap setia bersama mereka selama ini: Slankers.
Keberadaan Slankers –yang militansinya tak perlu diragukan– sudah lama melekat dengan Slank, terutama sejak Bunda Iffet mencetuskan Slank Fans Club pada 2 Mei 2004. Tujuannya lugas: menaungi Slankers sekaligus mendorong komunitas itu menjadi gerakan yang produktif.
Dua dekade berlalu, jumlah Slank Fans Club di seantero negeri menjadi begitu banyak. "Di seluruh Indonesia tuh ada berapa kita, mas? 200, 300-an cabang?" tanya Ivan. Saking banyaknya, Bimbim bahkan sudah tidak ingat persis berapa jumlah terbarunya, "ada berapa kabupaten sih, kita?"
Militansi Slankers membuka banyak peluang. Slank mendayakan itu dengan menginisiasi berbagai program, salah satunya ketika SFC di seluruh daerah wajib membuat satuan keamanan. Tugas utama satuan itu yakni menjaga keamanan setiap pertunjukan Slank. Mereka pun diresmikan dengan nama Bidadari Penyelamat (BP), diambil dari salah satu lagu di album Minoritas.
BP berkembang seiring waktu, hingga reputasi mereka diakui dan kerap direkrut pertunjukan hiburan lainnya. Mengamini namanya, Bidadari Penyelamat, juga kerap diterjunkan untuk ikut membantu korban bencana alam.
Gerakan yang lahir atas nama Slankers kian waktu kian berlipat. Setelah BP, muncul pula inisiatif dari berbagai bidang yang dibuat Slankers di daerah masing-masing. Slank melihat aksi-aksi itu sebagai langkah baik, tapi masih terlalu sporadis dan tak punya roadmap yang jelas. Ivan menjadi bersemangat soal ini, "kita lebih ingin fokus supaya mereka benar-benar terorganisir."
Pemberdayaan yang lebih teratur dalam segi ekonomi kemudian menjadi atensi yang terwujud dalam gerakan bernama Slankpreneur. Slank ingin menggerakkan Slankers sebagai mesin ekonomi kerakyatan, dari rakyat untuk rakyat.
"Mimpinya sih setiap Slank Fans Club ada satu pelaku ekonominya lah di situ," papar Ivan antusias. "Kalau dia sudah sukses, nanti bisa jadi kakak asuhnya untuk adik-adik yang lainnya lagi."
Namun untuk yang paling dekat, ada satu mimpi yang sudah jadi kepinginan Slank sejak lama. Mimpi itu bernama Pasar Malam Empat Satoe Slank pada 4 Januari 2025. Hajatan tahunan itu mengusung tema perpaduan antara konser dengan pasar malam. Salah satu gagasan dasar acara itu adalah kesadaran para Slanker sudah banyak beranak-pinak.
"Kita pengen bikin acara yang family banget, yang Indonesia banget, local pride. Apa ya? Pasar malam! Jadi sore itu kita panggil semua, dari rumah hantu sampai bianglala, games, permainan-permainan yang biasanya ada di pasar malam,” papar Bimbim.
“Kita ajak anak-anak kita. Anaknya Ridho, anaknya Kaka, anaknya gue. Anaknya Ivan lagi dibujukin, untuk di atas panggung bareng. Jadi pengin, this is a family party begitu,” lanjutnya.
Konser Pasar Malam Empat Satoe ibarat penanda Slank telah melintas dari masa ke masa. Band yang dulu terbentuk karena demam The Rolling Stones itu menjelma jadi pujaan jutaan orang di Bumi Pertiwi.
Namun, lembaran baru telah menunggu. Masih ada mimpi-mimpi lain yang masih bersemayam dalam angan. Pertanyaan spekulatif pun muncul: Bagaimana Slank menatap 5-10 tahun ke depan? Bimbim, Kaka, Ivanka, dan Ridho berpikir agak panjang mendengarnya. Mereka saling melempar giliran, demi mendapat waktu yang lebih lama untuk merenung.
"Industri musik di Indonesia ini kan sangat berkembang, terutama pelakunya. Cuma sistemnya yang masih belum memadai," curhat Ivan. Wajar, persoalan royalti belum kunjung beres meski pembahasannya sudah menahun.
Ridho juga setali tiga uang dengan Ivan. Ada masalah di industri musik yang dinilai patut diatasi dalam lima tahun ke depan karena bagi sang gitaris, masalah ini merugikan Slank.
"Ada beberapa promotor yang ingin ajak Slank, tapi ternyata kapasitasnya enggak bagus," ujar Ridho. "Kita butuh juga ada kayak sertifikasi ataupun apapun yang terdaftar."
Berbeda dari lainnya, Kaka lebih penasaran dengan arus musik pada masa yang akan datang. Ia memprediksi warna musik di Indonesia akan lebih semarak karena lajunya semakin deras.
"Dulu saja kita enggak mikir bahwa band daerah bisa rekaman di daerah sendiri, pakai bahasa sendiri," ujar Kaka. "Kalau ditanya musik in the future, lima tahun ke depan. itu pasti harusnya lebih gila, lah."
"5 tahun, 10 tahun ke depan, industri musik cepat banget sih ya berubah," Bimbim ikut terbawa arus mencurahkan gusarnya. "Perasaan baru kemarin pegang Blackberry, sekarang sudah iPhone."
Namun, setelah itu, Bimbim balik ke setelan nyeleneh. "Mungkin 10 tahun lagi kita tur di Mars kali? Umur berapa kita? Masih mampu enggak kita ke Mars buat konser?"
Slank memang nggak ada matinya.