Bisakah Janji Prabowo Bawa RI Swasembada Pangan 4 Tahun Terwujud?

3 weeks ago 13

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prabowo Subianto berjanji membawa Indonesia mencapai swasembada pangan dalam 4 tahun hingga 5 tahun ke depan.

Ia menegaskan Indonesia harus bisa memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Prabowo bahkan mengklaim sudah berbicara dengan banyak pakar terkait target swasembada pangan itu.

"Saya yakin paling lambat 4 tahun-5 tahun (setelah 2024), kita swasembada pangan. Bahkan, kita siap jadi lumbung pangan dunia," katanya dalam Pidato di Gedung MPR RI, Jakarta Pusat, Minggu (20/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saudara-saudara sekalian, saya canangkan RI harus swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh bergantung makan dari luar," tegas Prabowo.

Meski punya tekad besar dan sangat menjanjikan, namun sejumlah pengamat takut apa yang diucapkan Prabowo hanya akan jadi omon-omon belaka. Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian misalnya, menegaskan fakta di lapangan tak bakal jauh beda, andai pendekatan yang dilakukan Prabowo mewujudkan tekad itu sama seperti Presiden ke-7 Joko Widodo.

Eliza sebenarnya meyakini swasembada pangan yang dijanjikan Prabowo bisa dicapai. Asalkan, ada kebijakan baru dari Prabowo serta tak lagi menggunakan paradigma dan pendekatan usang seperti Jokowi.

Menurutnya, jangka waktu yang ditetapkan dalam 5 tahun bisa saja terwujud. Eliza menekankan kuncinya adalah Prabowo tak boleh cuma fokus pada peningkatan produksi, melainkan harus ikut memperhatikan kesejahteraan petani.

"Jika pemerintah masih memiliki paradigma pembangunan yang sama seperti saat ini, pangan Indonesia akan semakin karut-marut. Pemerintah harus reorientasi arah kebijakan pangan. Ini bermula dari paradigmanya karena bagaimana pun paradigma ini akan menentukan pilihan-pilihan kebijakan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/10).

Ia memberi contoh pemanfaatan anggaran di sektor pertanian selama ini. Eliza mengatakan ada 81 persen uang negara habis untuk belanja barang, sedangkan 15 persen lainnya dipakai belanja pegawai dan hanya 4 persen belanja modal alias infrastruktur dasar.

Eliza mengkritisi bagaimana pemerintahan Jokowi selama ini masih berkutat dengan bantuan personal. Padahal, ini sangat rentan penyelewengan dan mark up yang berujung inefisiensi serta kurang efektifnya belanja pemerintah.

"Bantuan-bantuan pemerintah yang sifatnya personal, seperti pompa, benih, traktor, dan lain-lain ini akan percuma jika tidak didukung infrastruktur dasar, seperti irigasi, jalan usaha, cold storage, dan kebijakan harga," tegas Eliza.

Peneliti Core itu juga meminta pemerintah benar-benar melibatkan petani. Eliza menegaskan petani adalah ujung tombak peningkatan produksi pangan Indonesia.

Jika pemerintah lebih banyak mengajak korporasi, petani dipastikan hanya menjadi buruh di negeri sendiri. Ia juga khawatir adanya monopoli pangan yang berujung permainan harga dan matinya para pengusaha kecil.

"Pemerintah semestinya menjalankan program yang sesuai kaidah ilmiah dan jelas penyusunan teknisnya sesuai kajian. Jangan banyak trial and error karena kapasitas fiskal kita terbatas. Harus bijak dalam belanja untuk menjalankan program," saran Eliza.

"Food estate akan berakhir gagal lagi jika masih tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Sudah terbukti dari berbagai kegagalan food estate era Pak Soeharto yang di Palembang, Ketapang dan Bulungan era SBY, MIFEE periode Pak Jokowi yang berlanjut lagi kegagalannya di Kalteng dan Humbang Hasundutan," tutupnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho menyoroti posisi baru Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Ia menyinggung tugas berat Zulhas yang baru promosi dari menteri perdagangan ke menteri koordinator bidang pangan.

Andry mempertanyakan gerak Zulkifli Hasan ke depan. Terutama, koordinasi Kemenko Pangan yang membawahi Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Posisi menko (menko pangan) ini akan sestrategis apa? Apakah hanya sebagai koordinator saja?" khawatir Andry.

"Saya harapkan Menko Pangan (Zulkifli Hasan) bisa menjadi decision maker ketika ada permasalahan antar-kementerian. Misalnya, tidak sejalannya antara menteri teknis di bawah koordinasi menko pangan dengan Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto)," sambungnya.

Ia kemudian mewanti-wanti biaya swasembada pangan yang harus digelontorkan Prabowo Subianto via APBN. Menurutnya, upaya ini tak mungkin cukup hanya mengandalkan food estate yang jelas-jelas selama ini banyak gagal.

Di lain sisi, pemerintahan Prabowo bakal menghadapi dilema. Andry menyebut ada persoalan baru muncul, yakni memilih menghadirkan pangan murah untuk rakyat atau memaksa membeli hasil panen dalam negeri yang notabene mahal.

"Harga ini harusnya dibayar oleh pemerintah. Apakah itu melalui subsidi, misalnya agar masyarakat tetap dapat membeli pangan terjangkau," sarannya.

"Jika keran impor dibuka, ini juga pasti akan menghambat swasembada pangan," tambah Andry.

[Gambas:Video CNN]

Peneliti Next Policy Dwi Raihan beranggapan janji yang diungkapkan Prabowo cukup ambisius. Terlebih, susunan Kabinet Merah Putih tak banyak berubah dari Kabinet Indonesia Maju pimpinan Jokowi.

Dwi menegaskan ketahanan pangan Indonesia terbukti melemah. Ia mencontohkan impor yang cukup tinggi pada 2023-2024 lalu, khususnya beras.

Ia menilai target swasembada pangan terlalu ambisius jika harus dicapai dalam jangka pendek. Dwi menekankan ada banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk mewujudkan mimpi tersebut.

"Saya menemukan alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebab turunnya produksi pangan, khususnya beras. Saya menilai lebih mudah dan murah mempertahankan lahan di daerah sentra, seperti Jawa daripada membuka lahan di luar Jawa," tuturnya.

Dwi juga menyarankan Kabinet Merah Putih gotong royong jika ingin mencapai target ini. Swasembada diklaim harus dilakukan kementerian lintas sektor, bukan hanya mereka di urusan pertanian atau pangan.

Ia menyebut wajib ada inovasi dari pemerintah. Dwi menyarankan salah satu caranya adalah menggunakan teknologi tepat guna, selain mengevaluasi program food estate.

"Memberdayakan para petani hingga alokasi pupuk yang tepat sasaran. Pemerintah juga perlu membuat jaringan distribusi yang baik agar disparitas pangan dapat diperkecil dan harga pangan lebih stabil di berbagai daerah," saran Dwi.

(agt)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi