Deklarasi Istiqlal, Laudato si' dan Suara Lantang Paus di Krisis Iklim

7 hours ago 3

Aditya Heru Wardhana

Aditya Heru Wardhana

icon-email

Saat ini bekerja sebagai Executive Editor CNN Indonesia. Mendalami isu lingkungan, transisi energi dan perubahan iklim. Penggila tempe dan hobi berenang.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketika berkunjung ke Indonesia, Paus Fransiskus meninggalkan warisan yang berharga yaitu Deklarasi Istiqlal.

Deklarasi ini jadi salah satu yang paling saya ingat dan saya baca kembali. Isinya ternyata luar biasa. Berikut saya kutipan sebagian isi Deklarasi Istiqlal yang paling penting;

Deklarasi Istiqlal 2024

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Membangun Kerukunan Umat Beragama Demi Kemanusiaan

Seperti yang dapat dilihat dari berbagai peristiwa beberapa dekade terakhir, dunia kita jelas tengah menghadapi dua krisis serius: dehumanisasi dan perubahan iklim.

1. Fenomena dehumanisasi global ditandai terutama oleh meluasnya kekerasan dan konflik, yang sering kali menimbulkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, agama sering kali diinstrumentalisasi dalam hal ini, yang menyebabkan penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak-anak, dan orang tua. Akan tetapi, peran agama seharusnya mencakup upaya untuk memajukan dan menjaga martabat setiap kehidupan manusia.

2. Eksploitasi manusia terhadap ciptaan, rumah kita bersama, telah menyebabkan perubahan iklim, yang mengakibatkan berbagai konsekuensi yang merusak seperti bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini telah menjadi hambatan bagi koeksistensi masyarakat yang harmonis.


Deklarasi Istiqlal adalah bukti nyata perlawanan Paus Fransiskus pada krisis iklim yang mengancam umat manusia di bumi. Meski bukan ilmuwan atau politikus, tapi suara Paus Fransiskus sangat lantang dalam urusan menyelamatkan bumi.

Ensiklik Laudato si'

Suara lantang itu sebelumnya juga terwujud dalam Laudato si', ensiklik pertama dalam sejarah Gereja Katolik yang membahas secara eksplisit tentang krisis lingkungan dan perubahan iklim. Bukan hanya untuk umat Katolik, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Paus Fransiskus menulis 246 paragraf Laudato si' dengan penuh empati sekaligus keprihatinan. Bumi sedang sekarat, dan kita semua punya tanggung jawab untuk menyembuhkannya, begitu pokok pikiran Paus Fransiskus.

Ensiklik yang dirilis Vatikan pada 2015 ini menggemparkan dunia karena secara eksplisit membahas tentang krisis lingkungan dan perubahan iklim. Bukan hanya untuk umat Katolik, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Namun, ini bukan sekadar seruan ekologis. Laudato si' membongkar akar persoalan dengan tajam: keserakahan, sistem ekonomi yang tak adil, dan budaya konsumtif yang merusak relasi manusia dengan
alam.

Kritik Paus Fransiskus terhadap kapitalisme, sistem akumulasi modal yang menggerus kekayaan alam tentu bisa dipahami dari latar belakang beliau dari Amerika Latin, benua yang sarat paradoks: kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga kemiskinan struktural yang dalam.

Paus Fransiskus tumbuh dibalut semangat keberpihakan pada kaum miskin dan teraniaya serta cara pandangnya terhadap dunia-terutama tentang kemiskinan, ketimpangan, dan sistem ekonomi global.

Sikap Paus Fransiskus ini berdasar pijakan kuat dan sejalan dengan banyak pakar yang berpendapat kapitalisme adalah biang kerok krisis iklim. Contohnya, Fred Magdoff dan John Bellamy Foster dalam buku yang berjudul What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism menyodorkan argumen bahwa mekanisme inti kapitalisme adalah menumpuk keuntungan dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan mengambil nilai lebih dari tenaga kerja secara terus-menerus.

l

Dan bila kita menengok kembali isi Deklarasi Istiqlal, tergambar jelas bagaimana kaitan antara kapitalisme dengan krisis iklim serta ancamannya bagi umat manusia.

Tak sekadar menjadi tumpukan kertas, Laudato si' menggerakkan gereja-gereja Katolik di berbagai belahan dunia mulai membuat kebijakan ramah lingkungan, dari pengelolaan sampah, konservasi energi, hingga pendidikan ekologi bagi anak-anak. Di berbagai negara, ensiklik ini digunakan sebagai referensi moral dalam
kebijakan iklim dan advokasi lingkungan.

Vatikan berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050. Komitmen ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi dampak lingkungan, termasuk beralih ke sumber energi terbarukan dan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan.

Vatikan juga menargetkan untuk memiliki armada kendaraan tanpa emisi pada tahun 2030.

Di Indonesia, beberapa gereja mengembangkan Bank Sampah Paroki, seperti Gereja St. Theresia, Jakarta, yang mendaur ulang sampah dan mengubahnya menjadi nilai ekonomis. Gereja Katedral Jakarta mendukung transisi energi melalui penggunaan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listriknya selama siang hari. Ini merupakan langkah positif dalam upaya mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung transisi energi terbarukan di Indonesia.

Istiqlal, masjid terbesar se-Asia Tenggara ini pun telah mendayagunakan energi surya guna menekan penggunaan listrik konvensional berbahan fosil. Serta penghematan air untuk thaharah atau bersuci. Upaya ini tentu langkah nyata yang selaras dengan semangat Deklarasi Istiqlal.

Paus Fransiskus memang selama tak tinggal diam. Ia juga hadir dalam forum global, menyuarakan urgensi tindakan nyata. Dalam Konferensi Iklim COP21 di Paris, ia mendesak para pemimpin dunia agar tidak hanya menandatangani kesepakatan, tetapi juga menepatinya. Ia menantang negara-negara kaya untuk bertanggung jawab atas jejak karbon mereka yang besar.

Senin, 21 April 2025, Bapa yang bersahaja itu meninggalkan kita semua.

Lalu bagaimana kelanjutan umat manusia dalam memerangi krisis iklim?

Di konteks Indonesia, sepertinya jalan menuju transisi energi sebagai salah satu solusi menyelesaikan krisis iklim nampaknya menjumpai banyak batu sandungan. Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto untuk Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo menjelaskan Pemerintah Indonesia tidak akan menutup seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara pada 2040, tapi akan melakukan pengurangan secara bertahap.

Pernyataan ini seakan menjadi sinyal bahwa pengurangan energi fosil di Indonesia melambat. Selain itu, mundurnya Amerika Serikat dari komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) menyebabkan Indonesia kehilangan dana hibah (grant) hampir USD 70 juta atau setara Rp 1 triliun.

Semoga, wafatnya Paus Fransiskus tak mengendurkan upaya kita untuk mengatasi krisis iklim sebab nasib kemanusiaan dipertaruhkan. Dan bagi kita di Indonesia, semoga terus menghidupkan semangat Deklarasi Istiqlal dan mewujudkan dalam aksi-aksi nyata.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengulang seruan Paus Fransiskus di hadapan kaum muda di Universitas Santo Thomas, Manila "Sebagai penjaga ciptaan Tuhan, kita dipanggil untuk menjadikan bumi sebagai taman yang indah bagi keluarga manusia. Ketika kita menghancurkan hutan, merusak tanah, dan mencemari laut, kita mengkhianati panggilan mulia tersebut."

(sur/sur)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi