Pilkada Serentak 2024 dan Lingkaran Setan Politik Uang

1 month ago 24

Jakarta, CNN Indonesia --

Praktik money politics atau politik uang dalam tiap gelaran pemilihan umum tak pernah berakhir. Pada Pilkada 2024 yang kini tinggal menghitung hari, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Rohidin diduga memeras sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk membiaya pemenangannya di Pilkada 2024. Ia maju bersama Meriani. Menurut KPK, Rohidin telah menyiapkan amplop 'serangan fajar' dengan isi masing-masing Rp50 ribu.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Herlambang Wiratraman menyebut praktik politik uang sulit dihilangkan dari sistem politik Tanah Air. Menurut dia, ketergantungan politik di Indonesia pada uang sangat besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini menjadi fenomena yang agak susah dihilangkan dalam sistem politik Indonesia," kata Herlambang saat dihubungi, Senin (25/11).

Dia berpendapat politikus masih sangat bergantung pada uang untuk meraih suara dari masyarakat dalam pemilu.

Kondisi itu diperparah dengan kartelisasi politik di internal partai dalam bentuk mahar untuk mengantongi tiket pencalonan. Hasilnya, politik uang menjadi masalah sistematis yang sulit diberantas.

Herlambang pun menilai tak ada upaya serius dari penyelenggara pemilu untuk menghentikan politik uang. Menurutnya, penyelenggara pemilu terlihat permisif.

"Dan celakanya terlihat permisif, atas situasi itu yang sekarang tidak sekadar uang tapi dalam bentuk lain misalnya bantuan sosial, ataupun bentuk lain yang merupakan bagian untuk memengaruhi pemilih," kata dia.

Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, dalam disertasinya menyebut Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan praktik politik uang tertinggi di dunia. Indonesia hanya kalah dari dua negara di Afrika, yakni Uganda dan Benin.

Burhanuddin mengungkapkan pada Pilpres 2014, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat praktik jual beli suara.

"Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dibanding Uganda dan Benin," kata Burhanuddin dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada November 2023 lalu.

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta Nia Elvia menilai tradisi politik uang di Indonesia karena para elite politik tak punya nilai-nilai bernegara yang baik.

Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah, juga lemah. Menurut Nia, tradisi ini bisa diberantas dengan desakan dari kelompok masyarakat kelas menengah.

"Dalam istilah sosiologinya disebut the ruling class. Jika masyarakat kelas menengahnya semakin sedikit, dan semakin terdesak oleh tekanan ekonomi, perubahan akan amat sulit terjadi," kata Nia saat diwawancara, Senin.

Pendidikan politik

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta Ali Rif'an menyebut praktik politik uang seperti pada kasus Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sudah jadi rahasia umum. Dia meyakini kasus serupa juga terjadi di wilayah-wilayah lain.

Namun, kata Ali, tak ada yang diuntungkan dalam praktik politik uang. Ia mengatakan praktik itu merugikan elite politik karena harus buang-buang uang dan masyarakat yang menerima.

Sebab, menurut dia, penguasa yang terpilih karena politik uang merasa tak memiliki beban untuk memenuhi janjinya saat kampanye. Mereka merasa sudah 'membeli' suara warga.

"Nah, bagi publik ketika dia sudah dikasih uang, seolah-olah sudah dibeli. Bahwa suara anda sudah dibeli. Ketika jadi pemimpin saya sudah tidak perlu melayani anda," kata Ali saat dihubungi.

Ali pun berpendapat praktik politik uang saat ini tak hanya soal sistem, tapi juga jadi masalah sosiologis. Menurutnya, praktik itu tetap akan terjadi jika pemilu dilakukan secara tertutup, misalnya lewat DPR atau DPRD.

Merujuk pada sejumlah hasil riset, Ali menyebut penurunan indeks demokrasi di Indonesia disebabkan pada budaya politik alih-alih kebebasan sipil. Menurut dia, Indonesia memiliki budaya politik patron klien, termasuk dalam konteks politik uang.

Ali mendorong pendidikan politik bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat harus paham bahwa tradisi politik uang punya daya rusak.

Peran pendidikan perlu dipegang oleh penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP.

"Itu harus dilakukan secara masif di masyarakat bahwa budaya politik uang itu merusak ekosistem pemerintahan kita. Karena hulunya rusak, hilirnya rusak," kata Ali.

"Jadi tugas KPU atau Bawaslu atau DKPP, perlu satu tambahan lagi yaitu pendidikan politik," imbuhnya.

(thr/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi