Prabowo Tetapkan UMP 2025 Naik 6,5 Persen, Cukup dan Idealkah?

1 month ago 23

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada tahun depan.

Kenaikan itu lebih tinggi dari usul Menteri Ketenagakerjaan Yassierli yang hanya 6 persen.

"Menaker (Menteri Ketenagakerjaan Yassierli) mengusulkan kenaikan upah minimum 6 persen. Namun setelah membahas juga dan laksanakan pertemuan dengan pimpinan buruh kita ambil keputusan menaikkan rata-rata upah minimum nasional 2025 6,5 persen," ujar Prabowo usai menggelar rapat terbatas bersama menteri terkait di Kantor Presiden, Jumat (29/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dasar yang menjadi perhitungan pemerintah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 6,5 persen pada 2025 adalah pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

"UMP 2025 an landasannya baik itu inflasi maupun pertumbuhan ekonomi," kataya di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (2/12).

Selain dua variabel itu, Airlangga mengatakan pemerintah juga sudah mempertimbangkan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan pengusaha dalam menentukan kenaikan UMP. Biaya tenaga kerja katanya bergantung pada setiap sektor lapangan kerja.

Untuk sektor padat karya, biaya tenaga kerja sebesar 30 persen dari total pengeluaran perusahaan. Sedangkan sektor non padat karya, biaya tenaga kerja katanya di bawah 15 persen.

"Jadi pemerintah sudah melihat terhadap cost structure di tiap sektor," katanya.

Namun, buruh tidak puas dengan kenaikan rata-rata kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang ditetapkan Prabowo.

Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengatakan kenaikan 6,5 persen tidak sesuai dengan kondisi perekonomian buruh saat ini di mana harga barang melonjak.

"Kalau disampaikan apakah sesuai kondisi buruh saya katakan tidak sesuai. Kecuali pemerintah menurunkan harga sembako, harga pangan. Itu diturunkan dulu, kalau itu diturunkan misal 20 persen, maka angka 6,5 persen itu bisa mengangkat daya beli," kata Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/11).

"Jadi 6,5 persen enggak bikin happy pekerja buruh, harapan kami lebih dari itu," imbuhnya.

Mirah mengatakan kenaikan UMP harusnya 20 persen. Kenaikan diminta karena sejak 2020 lalu rata-rata UMP hanya naik 3 persen saja dan bahkan pernah kenaikan upah di bawah angka inflasi.

"Angka 20 persen itu untuk menaikkan daya beli rakyat yang sudah lemah alias turun sejak tahun 2020-2024 dikarenakan salah satunya dampak upah murah yang diberlakukan selama ini," katanya.

Mirah menyampaikan bahwa permintaan UMP naik 20 persen juga penting bagi pengusaha. Pasalnya ketika upah tinggi maka barang dan jasa yang dihasilkan oleh UMKM dan perusahaan besar akan dibeli oleh rakyat dengan baik. Artinya roda ekonomi bisa berputar dan pertumbuhan ekonomi terjadi sesuai target pemerintah.

Lantas sudah ideal kah kenaikan UMP sebesar 6,5 persen?

Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak berpendapat kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen sudah memadai. Rumus Kenaikan UMP menurut PP 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan katanya masih tetap berlaku.

PP Nomor 51 Tahun 2023 merupakan revisi dari PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini berlaku sejak November 2023 sebagai dasar penetapan upah pekerja formal.

Berdasarkan beleid itu, ada 3 variabel yang menentukan kenaikan upah buruh setiap tahunnya. Ketiganya adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

"Karena UU baru belum diundangkan. Jadi semua pengusaha, pekerja dan masyarakat sudah bisa mengantisipasi kenaikan upah tahun 2025," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/12).

Payaman melihat inflasi berkisar 4 sampai 5 persen dan pertumbuhan ekonomi per provinsi antara 4 persen hingga 5 persen. Sehingga kenaikan UMP tahun 2025 bisa sekitar 6 sampai 8 persen.

[Gambas:Video CNN]

Payaman mengatakan permintaan kenaikan UMP 20 persen seperti yang diinginkan buruh tidak masuk akal dan bisa membuat banyak perusahaan gulung tikar.

"Apalagi sekarang ini dunia usaha juga mengalami tekanan berat dengan produktivitas dan daya saing yang rendah, tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor," katanya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda mengatakan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen masih lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan oleh buruh. Menurut hitungannya, kenaikan UMP harusnya berada di kisaran 8-10 persen sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Ia mengatakan dengan kenaikan 6,5 persen dan inflasi di kisaran 3 persen, artinya tambahan pendapatan riil hanya 3 persen.

"Kelas menengah ke bawah yang konsumsi paling banyak adalah voltile food akan lebih rendah lagi kenaikan upah riilnya karena inflasi volatile food bisa mencapai 5-6 persen. Jadi saya rasa belum sesuai kenaikan UMP ini," katanya.

Nailul mengatakan kenaikan UMP 6,5 persen juga tidak sesuai jika pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke 12 persen mulai tahun depan. Alhasil, pekerja tidak bisa menabung lagi, bahkan bisa jadi malah 'mantab' alias makan tabungan.

Di saat bersamaan, inflasi yang tinggi menurunkan permintaan agregat. Dunia usaha bisa lesu karena permintaan yang terbatas. Ancaman bagi PHK juga akan semakin meningkat.

"Maka seharusnya memang UMP bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi, namun satu sisi tarif PPN tidak meningkat sehingga ada dorongan dari sisi konsumsi masyarakat. Dunia bisnis akan bisa kembali bergeliat secara signifikan dengan dorongan dari sisi konsumsi rumah tangga," katanya.

(agt/agt)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi