Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah berencana mengubah skema penyaluran subsidi energi, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Salah satu skema perubahan penyaluran yang tengah diwacanakan adalah dari subsidi berbasis pada produk menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada masyarakat atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Untuk mewujudkan itu, setelah 10 hari dilantik, Presiden Prabowo Subianto langsung melakukan rapat terbatas (ratas) dengan sejumlah menteri dan direktur utama badan usaha energi membahas terkait perubahan skema subsidi BBM ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap dua opsi yang akan ditempuh pemerintah sebagai pengganti subsidi BBM, salah satunya adalah bantuan berupa BLT.
Hal itu menurutnya adalah perintah Prabowo dalam rangka membenahi subsidi energi yang selama ini justru banyak dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
"Kemungkinan besar ada dua opsi ya. Opsi A bisa ke BLT langsung, opsi B-nya nanti kita lagi pikirkan. Ada beberapa opsi lah, tapi belum ada keputusan," ujar Bahlil ditemui di kantornya, Jumat (1/11).
Ia menyayangkan selama ini masih banyak orang kaya dengan mobil mewah yang 'meminum' BBM subsidi, seperti Pertalite. Karenanya, pembenahan harus segera dilakukan.
Bahlil pun mengatakan perubahan skema penyaluran subsidi energi BBM dan juga listrik akan diputuskan dalam waktu dekat. Hal itu disampaikan usai ia melakukan rapat koordinasi bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
"Kalau sudah selesai dalam waktu tidak lama, satu minggu dari sekarang, itu sudah ada formulasinya yang tepat untuk kami laporan kepada Bapak Presiden," ujar dia, Senin (4/11).
Ia mengungkap saat ini pembahasan masih terus dilakukan untuk mencari skema penyaluran subsidi yang terbaik agar tak malah dinikmati oleh kelas menengah ke atas.
Sementara, kelompok menengah ke bawah atau kalangan orang miskin justru banyak yang tidak menerima manfaat yang seharusnya dirasakan oleh mereka. Oleh karenanya, perubahan skema penyaluran dinilai menjadi sangat penting.
"BLT-nya salah satu opsi dan akan diputuskan nanti pada hari yang tepat. Dan opsinya saya pikir lebih mengerucut ke sana," tutur Bahlil.
Lantas tepatkah kebijakan pemerintah mengubah skema penyaluran subsidi itu, bagaimana juga caranya agar perubahan itu tak justru menyengsarakan rakyat?
Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai sebenarnya penyaluran subsidi BBM berbasis harga barang dan BLT adalah dua hal yang berbeda.
Menurutnya, peralihan subsidi BLT mengandung dua kebijakan.
Pertama, mencabut subsidi BBM sehingga otomatis harga bahan bakar akan mengikuti harga pasar atau berdasarkan harga keekonomian BBM. Kedua, anggaran subsidi tersebut dipakai untuk kebijakan BLT, terlepas apakah jumlahnya sama atau tidak.
Ia mengatakan berdasarkan pengalaman, total anggaran BLT lebih kecil ketimbang anggaran subsidi yang dicabut. Hal itu, kata dia, terjadi karena BLT pada umumnya sangat ditargetkan hanya kepada kalangan terbatas yang dianggap layak.
Sementara subsidi BBM dengan harga barang berlaku cenderung lebih umum.
"Jadi, apakah peralihan ke BLT ini tepat atau tidak, tergantung sudut pandang. Bagi pemerintah yang sedang membutuhkan banyak tambahan anggaran, tentu kebijakan BLT jauh lebih tepat, karena anggarannya bisa lebih kecil ketimbang pemberian subsidi energi, baik BBM maupun listrik," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Senin (4/11).
"Namun jika dilihat secara makro, tetap masyarakat akan terkena rugi lebih banyak, karena pencabutan subsidi akan berimbas kepada kenaikan harga energi sesuai dengan harga keekonomiannya," imbuhnya.
Berdasarkan perhitungannya, Ronny mengatakan idealnya BLT yang diberikan untuk subsidi BBM adalah sekitar Rp180 ribu-Rp250 ribu per bulan untuk tiap orang. Hal itu juga mengasumsikan kenaikan harga BBM menggerus pendapatan masyarakat sekitar Rp3.000 per liter.
Belum lagi mempertimbangkan pertambahan beban pengeluaran masyarakat akibat multiplier effect dari kenaikan harga BBM.
"Dengan asumsi satu orang mengonsumsi 2 liter sehari, katakan contohnya pelaku ojek online, maka ada pertambahan beban biasa Rp6.000 sehari. Lalu dikali 30 hari setara dengan Rp180 ribu sebulan. Jika dihitung demikian, maka BLT paling sedikit sekitar Rp180 ribu per bulan," kata Ronny.
Soal ketepatan target penyaluran, Ronny menilai hal itu sangat bergantung kepada pendataan. Menurutnya, hal ini penting untuk dijelaskan kepada publik.
Ia melihat berdasarkan pengalaman selama ini, data antara beberapa departemen saja bisa berbeda. Maka itu ia mempertanyakan data mana yang akan dipakai pemerintah untuk penyaluran subsidi BBM dengan BLT.
Sementara jika penyaluran nantinya dilakukan secara tunai atau nontunai kembali kepada kesiapan infrastruktur digital pemerintah. Patut dipertanyakan pula bagaimana menyalurkan BLT kepada masyarakat yang tak memiliki rekening bank dan tidak 'melek' financial technology.
"Hal ini juga harus dibuat terang benderang. Semuanya lagi-lagi kembali kepada data, lalu kepada kesiapan infrastruktur keuangan jika memang bentuknya tidak tunai. Artinya, akan ada pekerjaan tambahan bagi pemerintah untuk menyiapkan itu semua," ucap Ronny.
Menurutnya, inti dari perubahan skema subsidi energi BBM adalah pencabutan dari subsidi itu sendiri. Jika publik tak terlalu terganggu dengan kenaikan harga, Ronny berkata maka BLT akan menjadi kebijakan basa-basi saja seperti yang sudah berjalan selama ini.