Jakarta, CNN Indonesia --
Isu pembentukan Kementerian Penerimaan Negara di Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto kembali berembus.
Lagi-lagi adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo yang membocorkan rencana ini. Hashim mengklaim kementerian yang segera dibentuk itu bakal dipimpin Anggito Abimanyu.
"Jadi itu nanti ditangani oleh Pak Anggito Abimanyu sebagai menteri penerimaan negara," kata Hashim dalam Rapimnas Kadin 2024 di Hotel Mulia Jakarta, Minggu (1/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beliau (Anggito) nanti diangkat sebagai menteri penerimaan negara. Jadi, ini untuk menangani pajak, cukai, revenue, atau perlindungan negara berupa royalti dari pertambangan dan lain-lain," jelas adik Prabowo itu.
Nama Anggito memang kencang diisukan memimpin kementerian baru tersebut. Meski, saat ini ia masih menjabat sebagai wakil menteri keuangan bersama dua wamenkeu lain, yakni Suahasil Nazara dan Thomas Djiwandono.
Akan tetapi, klaim Hashim ditepis Kantor Komunikasi Kepresidenan alias Presidential Communication Office (PCO). Kepala PCO Hasan Nasbi menegaskan belum ada pembahasan soal Kementerian Penerimaan Negara.
"Sampai saat ini tidak ada pembahasan dalam rapat kabinet untuk pembentukan Badan (Kementerian) Penerimaan Negara," tegasnya di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin (2/12).
Lantas, masih perlukan Presiden Prabowo membentuk Kementerian Penerimaan Negara, apa untung ruginya?
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet paham bahwa Kementerian Penerimaan Negara adalah bagian dari janji kampanye Prabowo. Namun, menurutnya tidak tepat jika sang Kepala Negara tetap memaksakan upaya ini.
Pasalnya, ada risiko yang akan terjadi bila Prabowo memaksakan pembentukan kementerian ini. Risiko pertama, berkaitan dengan anggaran.
Yusuf mewanti-wanti adanya potensi pembengkakan belanja pemerintah buntut pembentukan kementerian/lembaga (K/L) baru. Padahal, pemerintahan Prabowo juga harus menjaga disiplin fiskal.
"Di saat yang bersamaan harus mengeksekusi beberapa program flagship yang membutuhkan dana yang besar, seperti program makan bergizi gratis," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
Ada konsekuensi lain jika Kementerian Penerimaan Negara tetap ingin dibentuk. Menurutnya, Prabowo mau tak mau harus merampingkan Kabinet Merah Putih alias pos K/L lain.
Risiko kedua, kegagalan. Ia mengatakan pemisahan kementerian, dalam hal ini fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, juga tak selamanya berbuah manis. Yusuf mewanti-wanti bahaya kegagalan dari ambisi ini.
"Mereka (negara) yang gagal tidak mendapatkan manfaat signifikan karena permasalahan manajemen, juga tidak adanya dukungan politik dalam jangka panjang. Sehingga pemisahan akhirnya tidak terlalu signifikan dalam mendorong penerimaan pajak ataupun penerimaan negara secara umum," tutur Yusuf.
Meski begitu, ia mengakui Kementerian Penerimaan Negara umumnya memang mesti dipisah secara struktural dari induknya. Yusuf menyarankan seharusnya status kementerian ini sejajar dengan Kemenkeu, lalu berada langsung dan bertanggung jawab kepada presiden.
Sedangkan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai Kementerian Penerimaan Negara alias Revenue Office bisa menjadi langkah strategis Prabowo. Ia menegaskan selama ini semuanya terlalu terkonsentrasi di Kementerian Keuangan.
"Kelembagaan yang terlalu terpusat dapat menimbulkan konflik kepentingan dan mengurangi transparansi. Dengan membentuk Revenue Office, tata kelola penerimaan negara dapat lebih terfokus, independen, dan transparan," ucap Achmad.
"Selain itu, pembagian wewenang ini juga memberikan ruang untuk reformasi kelembagaan lain, seperti perbaikan pengelolaan sengketa pajak yang selama ini didominasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)," tambahnya.
Meski begitu, Achmad menyebut kesiapan pelaksanaan dan integrasi kebijakan menjadi tantangan besar. Waktu yang terbatas menjadi ganjalan bagi Kementerian Penerimaan Negara untuk bisa bekerja efektif.
Pembentukan kementerian baru ini juga perlu dibarengi investasi besar dalam aspek teknologi, data, dan sumber daya manusia (SDM). Ini tentu akan membebani keuangan negara.
"Pemecahan fungsi penerimaan negara dari Kementerian Keuangan sebenarnya dapat mengurangi beban kerja Kemenkeu. Memungkinkan fokus yang lebih baik pada fungsi perencanaan dan pengelolaan anggaran," tuturnya.
"Perlu ada delineasi tugas yang jelas. Misal, Kemenkeu tetap bertanggung jawab atas perencanaan anggaran dan kebijakan fiskal. Kementerian Penerimaan Negara bertugas mengimplementasikan kebijakan tersebut melalui pengelolaan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," beber Achmad.
Kementerian baru bisa meningkatkan fokus pada penerimaan negara dan memperbaiki tata kelola yang selama ini cenderung tidak transparan. Reformasi juga mesti disertai perbaikan institusi, seperti pengadilan pajak dan sistem pengawasan untuk memastikan akuntabilitas yang lebih baik.
Kunci utama peningkatan tax ratio
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan sebenarnya ada dua langkah utama menggenjot penerimaan pajak dan meningkatan tax ratio daripada harus membentuk kementerian baru. Pertama, mengejar pajak di sektor pertambangan.
Ia mencatat sektor ini masih sangat minim kontribusinya terhadap penerimaan perpajakan. Padahal, kontribusi tambang ke produk domestik bruto (PDB) cukup besar.
"Kejar pengusaha-pengusaha tambang pengemplang pajak plus ubah aturan perpajakan bidang tambang," saran Huda.
Kedua, ia menyoroti pajak orang pribadi yang bisa ditingkatkan karena kontribusinya masih di bawah 1 persen. Huda mencontohkan penerapan wealth tax yang diyakini mampu menaikkan kinerja perpajakan tanah air.
Huda pesimistis dengan manfaat Kementerian Penerimaan Negara. Ia menekankan kementerian ini tidak akan membantu banyak dalam mengerek penerimaan negara.
Huda sebenarnya tak yakin penerimaan negara tak akan bertambah jika fungsi perpajakan dan bea cukai masih di bawah komando Kemenkeu yang saat ini dikomando Sri Mulyani.
Namun kalaupun pemisahan dilakukan dengan membentuk Kementerian Penerimaan Negara itu semua tak menjadi jaminan bahwa cita-cita Prabowo memperbaiki kinerja penerimaan pajak bisa tercapai. Terlebih kalau arah komandonya salah tempat.
"(Namun) adanya Kementerian Penerimaan Negara justru membuat koordinasi dengan Kemenkeu akan turun. Kementerian Penerimaan Negara juga apakah akan di bawah Kemenkeu? Karena Kemenkeu saat ini bukan di bawah Kemenko Perekonomian, fungsi koordinasi akan cukup sulit," prediksi Huda.
"Kekhawatiran saya, berdasarkan pada kasus yang baru-baru ini terjadi, di mana internal mereka (DJP dan DJBC) masih sangat keropos. Pembentukan kementerian ini tanpa dibenahi terlebih dahulu internalnya hanya akan memperkeruh kabinet," jelasnya.
Huda menegaskan masih ada banyak pekerjaan rumah (PR) di internal DJP dan DJBC yang harus dibenahi. Jika dipaksakan ada kementerian baru, ini justru dikhawatirkan bakal memperkuat posisi oknum-oknum yang ada di dua direktorat tersebut.
(agt/agt)