Jakarta, CNN Indonesia --
TikTok memilih membangun pusat data di negara tetangga, Thailand, daripada di Indonesia. Apa penyebabnya?
Jika mengacu data, pengguna Tiktok di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang Thailand. Menurut data Statista pada Februari 2025, Indonesia memiliki sebanyak 107,69 juta pengguna, hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan Thailand yang hanya menyumbang 34,01 juta pengguna.
Jumlah tersebut membuat Indonesia menjadi penyumbang pengguna TikTok terbanyak kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski menyumbang basis pengguna terbesar kedua di platform tersebut, tapi nyatanya Indonesia malah tak dilirik untuk investasi ini. Lantas, apa masalahnya?
Chairman Indonesia Data Center Provider (IDPRO) Hendra Suryakusuma menjelaskan ada beberapa faktor kunci yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi di sektor data center Indonesia.
Menurut dia salah satu yang paling krusial adalah ketidakpastian hukum dan regulasi data.
"Kalau kita bicara terkait onshoring data regulation, sebenarnya dulu kita pernah punya PP 82 2012, tapi itu direlaksasi menjadi PP 71 2019. Jadi kalau saya lihat akhirnya data itu walaupun milik masyarakat Indonesia, itu tetap bolehkan disimpan di luar negeri. Itu berbeda dengan yang ada di Malaysia dan juga di Vietnam," ujar Hendra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/3).
Selain itu, indeks kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia yang masih rendah juga menjadi hambatan. Merujuk Indeks EoDB yang dilakukan World Bank pada tahun 2020, Indonesia memiliki skor indeks kemudahan berbisnis sebesar 69,6 dari 100 poin. Skor ini menempatkan Indonesia hanya di peringkat ke-6 di Asia Tenggara dan ke-73 di dunia.
Hendra mengatakan proses perizinan yang rumit dan praktik pungutan liar memperburuk iklim investasi. Hal tersebut, katanya, ditambah gangguan dari organisasi masyarakat (ormas) yang sering menghambat pembangunan infrastruktur.
"Artinya pejabat ketika memberikan izin kita harus bayar uang pelicin untuk mempercepat. Lagi juga kalau di sisi lain itu Ormas. Ormas ini sangat mengganggu sebenarnya dalam proses pembangunan banyak infrastruktur, termasuk data center," tutur Hendra.
Faktor lainnya adalah minimnya insentif investasi yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand memberikan insentif pajak dan pembebasan bea masuk untuk impor chipset AI, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi investor.
"Kalau di Indonesia skema insentif bagi data center ini masih belum ada yang jelas dan belum ada yang kuat. Jadi mereka juga melihat terlalu berisiko untuk berinvestasi di sini," katanya.
Stabilitas politik dan keamanan investasi juga dinilai menjadi pertimbangan penting bagi investor. Selain itu, dukungan infrastruktur seperti konektivitas serat optik dan pasokan listrik yang andal juga menjadi faktor penentu.
Meskipun demikian, Hendra mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi besar di sektor data center. Populasi yang besar, penetrasi internet yang tinggi, dan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat menjadi daya tarik tersendiri. Namun, semua itu akan sia-sia jika tidak ada perbaikan dari sisi regulasi dan insentif investasi.
"Jadi ini sebenarnya tinggal bagaimana regulator memberikan lebih banyak lagi kepastian dari sisi investasi untuk para pelaku industri yang lebih besar," pungkasnya.
Menurut Hendra, Indonesia seharusnya bisa menjadi data center hub di Asia Tenggara. Namun, jika kondisi saat ini terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan momentum dan hanya menjadi pasar konsumen bagi negara lain.
CNNIndonesia.com telah menghubungi TikTok Indonesia, tetapi belum ada komentar yang diberikan hingga berita ini ditulis.
Sebelumnya, induk perusahaan TikTok, ByteDance, menyatakan komitmennya untuk melakukan investasi data center di Thailand senilai US$8,8 miliar selama 5 tahun mendatang.
Dilansir dari Reuters, hal tersebut dinyatakan Wakil Presiden Kebijakan Publik TikTok Helena Lersch dalam sebuah acara di Bangkok, Thailand pada 28 Februari lalu.
Layanan data hosting itu dijadwalkan mulai beroperasi pada 2026. Investasi ini dilakukan melalui unit bisnis ByteDance yang berbasis di Singapura dan bertujuan untuk mendukung operasional perusahaan afiliasi TikTok.
Rencana ekspansi TikTok di Thailand ini menjadi bagian dari total proyek investasi baru senilai US$5 miliar yang telah disetujui pemerintah Thailand.
Meski TikTok belum memberikan konfirmasi resmi mengenai investasi ini, langkah tersebut sejalan tren perusahaan teknologi global yang memperluas pusat data mereka di Thailand.
(lom/dmi)