Polisi Tembak Siswa SMK, Haruskah Senpi Diganti Pentungan?

1 month ago 20

Jakarta, CNN Indonesia --

Rangkaian kasus penembakan oleh polisi di luar yurisdiksi menjadi bola salju untuk mengevaluasi penggunaan senjata oleh aparat kepolisian.

Penggunaan senjata oleh aparat kepolisian mulai menuai sorotan sejak aksi polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat pada 22 November lalu. Selang dua hari peluru tajam itu menyasar seorang remaja berusia 17 tahun, Gamma Rizkynata Oktafiandi, siswa SMKN 4 di Semarang.

Pelakunya merupakan bintara polisi bernama Robig Zainudin yang menembakkan pistolnya kepada Gamma dan rekan-rekannya karena tawuran di malam hari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Robig memarkir sepeda motornya di tengah jalan. Lalu berdiri dalam posisi siaga, mencegat Gamma yang berkendara dengan dua temannya, lalu menarik pelatuk senjatanya kepada mereka dari jarak kurang dari dua meter.

Begitulah insiden yang tergambar dari sebuah video CCTV pada Minggu (24/11) dini hari itu.

"Kalau senpi yang kita pengen cek itu bagaimana mekanisme audit yang reguler, kalau orang pertama mendapatkan senpi oke lah ya. Tapi kan situasinya terus berubah, kehidupan orang juga dinamis," kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman di rapat, Jumat (29/11).

"Misalnya tahun ini dia santai, tahun depan kan mungkin dia complicated, stres dan sebagainya apakah dia layak untuk menggunakan senpi," imbuhnya.

Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR membahas kasus tersebut, legislator PDIP, I Wayan Sudirta membuka wacana agar polisi tak lagi diberi senpi. Di beberapa negara maju, katanya, polisi cukup diberi pentungan.

Menurut Wayan, hal itu bisa dikaji dan boleh jadi potensial diterapkan di Indonesia.

"Ini hati-hati karena kajian, walaupun belum berupa undang-undang, kajian yang ada tentang bagaimana polisi cukup bermodalkan pentungan di berbagai negara maju. Kelihatannya perlahan tapi pasti kita akan mengarah ke sana," katanya, Selasa (3/12).

Aturan penggunaan senpi oleh polisi diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009. Dalam pasal 47 ayat 1 menyebutkan, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia.

Sementara salam Perkapolri 1/2009 menyebutkan, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

Namun, di sejumlah negara, penggunaan senjata api oleh kepolisian kini mulai ditinggalkan. Jika diizinkan pun penggunaannya dibatasi dan seleksinya sangat ketat. Beberapa negara itu seperti Inggris Raya, Irlandia, Selandia Baru, Islandia, Norwegia, hingga Botswana.

Botswana menjadi negara satu-satunya di Afrika yang melarang polisinya menggunakan senjata. Sebagai gantinya, mereka hanya dibekali semprotan merica dan pentungan.

Sementara, Norwegia menjadi negara dengan penembakan fatal yang rendah. Kondisi itu disebabkan karena mayoritas polisinya tak menggunakan senjata. Hanya polisi yang telah melewati seleksi dan pelatihan ketat yang diizinkan menggunakan senjata. Itu pun angkanya hanya 15 persen dari pelamar.

Meski begitu, Direktur Eksekutif Indonesia Police Investigation & Control (IPIC), Rangga Afianto menilai larangan penggunaan senjata oleh kepolisian di Indonesia tak relevan. Menurut dia, kondisi tersebut justru hanya akan menyebabkan kenaikan angka kriminalitas dan kejahatan di tengah masyarakat.

"Wacana bahwa anggota kepolisian tidak dibekali senjata api saya pikir tidak tepat, karena hal ini justru hanya akan menambah masalah baru yakni potensi kejahatan yang akan semakin merajalela karena aparat yang tidak dipersenjatai," kata Rangga, Selasa (3/12).

Menurut Rangga, fungsi penegakan hukum tak akan maksimal jika polisi tak lagi dibekali atau dilucuti untuk tak lagi menggunakan senjata api.

Dia menilai polisi hanya perlu melakukan evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) penggunaan senjata oleh aparatnya. Menurut dia, izin penggunaan senjata api harus diberikan dengan tepat.

Izin pakai senpi harus diperketat

Rangga berpendapat, ada dua hal yang perlu dievaluasi. Pertama, penggunaan senjata api untuk dinas. Menurut dia, izin pemberiannya harus melalui seleksi yang ketat, bukan hanya dari kemampuan prajurit namun juga dari psikologis.

"Instrumen test psikologinya harus benar-benar spesifik dibedakan antara untuk pengajuan senjata api dan untuk keperluan-keperluan lainnya," kata dia.

Kedua, pengawasan harus dilakukan secara berkala dan harus dilakukan oleh biro khusus. Bila perlu, katanya, evaluasi itu dilakukan oleh atasan setiap satuannya masing-masing setiap bulan.

Dia meyakini evaluasi berkala itu sudah dilakukan oleh Polri. Namun, dia ragu jika instrumen yang digunakan sudah tepat, termasuk instrumen psikotes terhadap anggota.

"Alat psikotes yang digunakan apakah sudah spesifik khusus untuk calon pengguna senjata atau hanya psikotes umum disamakan dengan keperluan-keperluan lainnya?" Kata Rangga.

Senpi melekat pada tugas

Sementara, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritik penggunaan izin penggunaan senjata yang selama ini melekat pada personel atau anggota. Menurut dia, penggunaan senjata mestinya melekat pada tugas.

Artinya, kata dia, personel yang sedang berada di luar tugas harus mengembalikan senjatanya. Bambang juga mendorong pemilihan terhadap senjata dengan peluru tajam dan biasa.

Menurut dia, senjata dengan peluru tajam mestinya hanya digunakan untuk tugas dengan risiko tinggi. Sementara untuk risiko sedang atau rendah tak perlu dengan peluru tajam.

"Seperti pembubaran unjuk rasa atau tawuran. Itu kan mereka bukan pelaku kriminal tapi pelaku ketertiban sosial. Jadi tidak perlu menggunakan peluru tajam," katanya, Selasa (3/12).

Pada prinsipnya, kata Bambang, penggunaan senjata api oleh polisi bukan untuk membunuh. Melainkan untuk menghentikan ancaman pada personel atau bagi masyarakat.

Namun faktanya, penggunaan senjata api oleh personel selama ini kerap disalahgunakan karena melekat. Bahkan di luar tugas, tak sedikit yang menggunakannya untuk gagah-gagahan hingga dibawa ke rumah. Padahal hal itu tak diperlukan.

"Makanya penggunaan senjata api itu sesuai aturan melekat pada tugas. Bukan pada personel," katanya.

Bambang juga menyoroti kasus penembakan oleh Kabag Ops di Solok Selatan. Menurut Bambang, dia seharusnya tak membawa senjara api karena memiliki tugas operasional di lapangan.

"Jadi tidak ada risiko ancaman menghadapi kelompok kriminal. Yang dibolehkan membawa senjata api ya mereka yang berisiko tinggi menghadapi kelompok kriminal," katanya.

Bambang pun menilai opsi untuk menarik penggunaan senjata api dari kepolisian sebagai wacana yang perlu dikaji. Di beberapa negara, hal itu bahkan sudah diberlakukan.

Meski begitu, larangan itu tak dilakukan sepenuhnya. Sebab, polisi masih memerlukannya untuk menghadapi kelompok kriminal. Hanya saja, penggunaannya harus diperketat dan untuk satuan tertentu dengan risiko tinggi.

Oleh karena itu, Bambang menilai perlu ada evaluasi menyeluruh buntut kasus penembakan di Semarang. Pemeriksaan termasuk kepada atasan yang memberikan izin senjata kepada Aipda Robig sebagai pelaku.

"Makanya yang memberi izin penggunaan senjata api oleh personel yang melakukan penembakan itu juga harus diperiksa. Karena senjata api harus melekat pada tugas. Dalam rangka tugas apa dia membawa senjata api?" Katanya.

(thr/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi