Jakarta, CNN Indonesia --
Perang saudara di Suriah yang sudah meredup selama beberapa tahun terakhir kembali menyala usai milisi Hayat Tahrir al Sham (HTS) berhasil merebut salah satu kota penting bagi Suriah, Aleppo, pada 27 November.
Bukannya mereda, konflik ini pun kian meradang hingga berujung pada aksi penggulingan rezim Presiden Bashar Al Assad yang sudah berkuasa selama 50 tahun oleh HTS pada Minggu (8/12) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggulingan rezim otoriter ini berhasil mereka lakukan usai menguasai ibu kota Damaskus yang menjadi basis pemerintahan Assad.
Perang saudara yang terjadi di Suriah ini disebut sebagai konflik internal (intra-state conflict). Michael E. Brown dalam bukunya yang berjudul International Dimension of Internal Conflict menjelaskan bahwa meski konflik internal terjadi di dalam sebuah negara, tetapi efeknya juga bisa meluas ke negara-negara lain. Dengan kata lain, peristiwa perang saudara di Suriah ini juga bisa berdampak bagi negara-negara lainnya di Timur Tengah.
Lantas, apa efek perang saudara di Suriah bagi eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah?
Meluasnya gerakan Islam ekstrem di Timur Tengah
Pakar Timur Tengah sekaligus Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Dina Yulianti Sulaeman, mengatakan, peristiwa perang saudara di Suriah ini bisa memicu munculnya gerakan Islam ekstrem di negara-negara lain di Timur Tengah.
Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Dina menjelaskan, peristiwa perang saudara di Suriah ini sebetulnya terjadi karena banyaknya kelompok oposisi pemerintah Assad yang mendesak reformasi pemerintahan agar tidak otoriter.
Kelompok oposisi pemerintah ini terbagi menjadi dua macam, yakni oposisi yang berideologi demokrasi dan oposisi berideologi Islam ekstrem, seperti Hayat Tahrir al Sham, Jabhat Al Nusra, dan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
"Pihak oposisi ini ada banyak faksi, ada yang mau demokrasi, tetapi ada juga yang berideologi Islam ekstrem. Pada Pertengahan 2012, kelompok2 yang ekstrem ini mendeklarasikan jihad untuk mendirikan khilafah di Suriah. Mereka pun angkat senjata dengan suplai dana dan senjata dari Turki, Rezim Monarki Teluk, dan Amerika Serikat," jelas Dina saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (9/12).
Pada akhirnya, kelompok oposisi Islam ekstrem inilah yang tampil dominan dalam mendesak reformasi pemerintahan di Suriah hingga berhasil menggulingkan rezim Assad pada pekan lalu.
Oleh karena itu, keberhasilan kelompok oposisi Islam ekstrem HTS ini menjadi bisa menjadi pemicu munculnya gerakan serupa di negara-negara lain di Timur Tengah yang ingin melakukan revolusi dan bebas dari rezim otoriter. Sebab, kebanyakan negara di Timur Tengah dikuasai oleh pemerintahan yang bersifat otoriter.
"Karena hakikatnya adalah gerakan Islam ekstrem, tentu dampak yang paling dikhawatirkan adalah meluasnya gerakan serupa di negara-negara lain, yakni menggunakan kekerasan dan teror atas nama agama untuk menggulingkan rezim yang mereka tuduh kafir," lanjut Dina.
Di samping itu, Dina juga menyoroti transisi pemerintahan yang saat ini berjalan di Suriah usai rezim Assad jatuh.
Ia menilai, transisi pemerintahan di sana tidak akan mudah. Sebab, dikhawatirkan bakal muncul perseteruan di antara faksi-faksi oposisi yang juga ingin menguasai pemerintahan.
"Pengalaman di Libya, setelah Khadafi tumbang akibat jihad kelompok Al Qaeda Libya, para jihadis ternyata tidak bisa begitu saja mendirikan khilafah yang mereka inginkan, banyak faksi-faksi saling berseteru memperebutkan kekuasaan. Kini pun di Suriah, dengan runtuhnya struktur keamanan yang ada, sudah terjadi kekacauan, perampokan toko-toko, penjualan senjata liar," ungkap Dina.
Senada dengan Dina, Peneliti Senior Eni Enrico Mattei untuk Studi Timur Tengah, Steven A. Cook, juga berasumsi bahwa perang saudara di Suriah bakal memperburuk eskalasi di Timur Tengah.
Sebab, kata dia, peristiwa penaklukan Kota Aleppo oleh HTS ini benar-benar sudah membuat Suriah kembali menjadi 'zona perang aktif'.
"Tidak diragukan lagi garis pertempuran telah berubah dan Suriah kembali menjadi zona perang aktif," kata Steven dalam analisisnya yang terbit di Council on Foreign Relation.
"Sejauh ini, kita tahu bahwa pemberontakan-gabungan kelompok ekstremis, pejuang yang didukung Turki, dan suku Kurdi (meskipun tidak selalu pasukan Kurdi yang terorganisasi)-telah merebut kendali Aleppo dan Hama serta bergerak menuju kota-kota lain," kata dia.
"Kelompok utama di balik serangan itu diyakini adalah Hayat Tahrir al-Sham (dikenal sebagai HTS atau Tahrir al-Sham) yang muncul pada awal perang saudara Suriah. Kelompok ini merupakan cabang dari afiliasi Al Qaeda yang disebut Jabhat al Nusra. HTS ada dalam daftar organisasi teroris Departemen Luar Negeri," lanjutnya.
Hal ini, kata dia, tentu bakal memperburuk suasana di Timur Tengah, mengingat konflik di kawasan itu bukan hanya terjadi di Suriah saja, tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Contohnya saja, seperti konflik Israel-Palestina, Israel-Hizbullah, dan lain-lain.
Bersambung ke halaman berikutnya...