Dejavu Oposisi Megawati

3 weeks ago 6

Thohirin

Thohirin

icon-email

Punya minat pada jurnalistik sejak SMA. Sekarang jurnalis politik di CNNIndonesia.com.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Untuk saat ini, sebaiknya mari kita bersepakat bahwa PDIP akan berada di luar --jika tak mau disebut oposisi-- pada pemerintahan Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.

Meski sejumlah politikus PDIP, bahkan termasuk Puan Maharani, mengaku akan mendukung pemerintahan ke depan, serta Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto telah mengucapkan selamat usai Prabowo-Gibran resmi dilantik, faktanya pernyataan itu belum keluar langsung dari mulut Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Kedua, sikap resmi PDIP untuk berada di luar atau oposisi maupun bergabung ke pemerintahan, sebetulnya hanya akan dianggap resmi jika disampaikan Megawati. Sementara hingga saat ini, Megawati nampaknya bergeming merespons dinamika yang ada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan fakta itu, ditambah pertemuan Megawati dengan Prabowo belum terjadi, sebaiknya kita bersepakat Partai Banteng Moncong Putih secara de facto akan beroposisi pada pemerintahan Prabowo-Gibran.

Belum lagi tak ada nama kader PDIP pada kabinet yang dilantik Prabowo. Sejumlah nama yang sempat beredar sebelumnya, seperti Azwar Anas dan Bendahara Umum Olly Dondokambey kini juga mulai lenyap dari perbincangan publik.

Lalu, bagaimana dengan Budi Gunawan?

BG memang pernah menjadi ajudan Megawati saat menjadi Presiden, serta dipertahankan Mega menjadi Kapolri pada 2015. Kini, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu resmi mendapat posisi baru sebagai Menko Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di kabinet Prabowo.

Namun, baik Hasto maupun Puan telah menegaskan BG bukan kader partai sehingga daftar namanya di Kabinet Merah Putih Prabowo murni mewakili kelompok profesional.

"Pak BG masuk dalam kalangan profesional," kata Puan usai pelantikan Prabowo-Gibran di kompleks parlemen, Jakarta, Minggu (20/10).

Dejavu Megawati

Sikap bergeming Megawati pada pemerintahan baru kali ini tampaknya akan mengulang sejarah PDIP menjadi fraksi oposisi pada pemerintahan SBY-Jusuf Kalla periode 2004-2009. Kala itu, pada periode pertama SBY, PDIP notabene menjadi satu-satunya partai di parlemen yang mendeklarasikan diri sebagai oposisi.

Di parlemen, jumlah 109 kursi PDIP (19,8 persen), yang berada di urutan kedua terbanyak di bawah Golkar, berhadapan dengan sembilan fraksi lainnya yang menggenggam total 441 kursi (80,2 persen).

Mega menyatakan sikap resminya untuk beroposisi tepat pada perayaan ulang tahunnya ke-58 pada 23 Januari 2005, dan diresmikan lewat Kongres kedua partai pada 28 Maret-1 April 2005 di Bali. Dia pun melarang kader PDIP untuk masuk di kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.

Sikap resmi PDIP tertuang dalam dokumen berjudul "Sikap dan Kebijakan PDIP 2005-2010" yang di dalamnya antara lain berisi pembentukan kabinet bayangan sebagai media kritik kepada pemerintah. Hal ini kemudian terwujud saat Megawati mengumumkan struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP untuk lima tahun ke depan.

Kini, meski belum menyatakan sikap resmi partainya, Megawati secara diam-diam terbang ke Bali. Tentu kepergian Megawati ke Pulau Dewata di tengah hiruk pikuk dan ontran-ontran pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wakil Presiden baru, bukan satu kebetulan.

Dengan tidak menghadiri pelantikan, Megawati seolah ingin mengirim sinyal bahwa partainya akan mengulang sejarah sebagai oposisi dari tempat yang sama yang menjadi basis partainya, Bali.

Di pulau yang sama saat ia ambil keputusan oposisi pada 2004.

Masih setengah hati?

Pertanyaannya, kenapa hingga saat ini Megawati tak kunjung menyatakan sikap PDIP berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran? Sikap PDIP untuk beroposisi terkesan masih setengah hati apalagi melihat pernyataan sejumlah elit partai, terutama Puan Maharani.

Bahkan, mereka yang biasanya bersikap keras selama Pilpres lalu, kini terlihat melunak.

Hasto misalnya. Selain mengucap selamat atas pelantikan Prabowo-Gibran, dia juga memuji pidato perdana Prabowo yang menyebut nama Bung Karno dan kepemimpinan Megawati saat menjadi Presiden.

"Juga ketika Pak Prabowo menyampaikan bagaimana kepemimpinan Ibu Megawati mampu menyelesaikan berbagai krisis multidimensi," katanya saat menemani Mega di Bali.

Sikap sejumlah elit PDIP yang mulai tampak melunak itu seolah jadi sinyal partai tersebut takkan bersikap keras seperti saat jadi oposisi pemerintahan SBY. 

Selama kurun waktu itu, PDIP beberapa kali tercatat melancarkan aksi protes keras. Mereka misalnya sempat melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah SBY pada 2006, yang menetapkan ExxonMobil sebagai lead operator Blok Cepu.

Memasuki periode kedua pada 2009, PDIP membuka pemerintahan SBY dengan menggulirkan hak angket terkait kasus Bank Century. Wacana itu disampaikan bertepatan dengan hari pelantikan SBY dan Budiono sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 pada 1 Oktober 2009.

Selain dua kasus itu, tak terhitung penolakan mereka terhadap wacana kenaikan BBM yang juga memancing reaksi keras dari publik.

Lalu, benarkan PDIP akan mulai melunak ke depan?

Ketua Fraksi PDIP di DPR, Utut Adianto tak menutup-nutupi sikap fraksi partainya akan mulai melunak dan tak sekeras dulu. Menurut Utut, semangat zaman telah berubah dan masyarakat tak simpati pada sikap oposan.

Di sisi lain, Utut menganggap fungsi check and balances bagi DPR tak lebih hanya term yang enak didengar di telinga dan disukai kelompok akademisi.

Faktanya, kata dia, posisi PDIP adalah satu-satunya partai yang belum menyatakan dukungan. Bukan check and balances jika harus berhadapan dengan tujuh fraksi lain di DPR, melainkan tak lebih dari dissenting opinion atau perbedaan pendapat.

"Check and balances kalimatnya enak di kuping. Tapi di lapangannya, ketika misalnya 7 lawan 1 atau 6 lawan 2 itu bukan check and balances, itu dissenting opinion. Doesn't change anything. Doesn't change anything," kata Utut.

Sebenarnya sikap Utut bukan tanpa dasar. Pada Januari 2024 lalu, Indikator Politik merilis hasil survei soal gaya debat capres-cawapres. Hasilnya, sebanyak 57 persen responden tidak setuju debat diwarnai aksi saling serang dan menjatuhkan. Sementara, 38,6 persen lain mengaku setuju dan 4,4 persen lainnya tidak menjawab/tidak tahu.

Tapi, hasil survei itu tak bisa diyakini linier dengan anggapan publik yang tak simpatik pada sikap oposan.

Sebab, survei Indikator yang dirilis pada 4 Oktober lalu mengungkap hasil sebaliknya. Bahwa, sebanyak 55,8 persen berharap ada oposisi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya 29,4 persen yang menyatakan partai-partai di DPR bergabung dengan koalisi pemerintahan Prabowo.

Dan lebih spesifik, Indikator merilis survei sikap responden terkait sikap politik PDIP di parlemen. Hasilnya, 45 persen setuju PDIP menjadi oposisi dan 39,1 persen menolak.

[Gambas:Video CNN]

Sejarah pengkhianatan

Sejarah oposisi PDIP dan Megawati pascareformasi adalah sejarah pengkhianatan. Saat berseberangan dengan pemerintahan SBY pada 2004-2014, keputusan Megawati itu hakul yakin bukan hanya karena ia kalah di Pilpres.

Toh faktanya, hingga saat ini hubungan SBY dan Mega tetap dingin. Termasuk pada Pemilu 2024, saat pintu rekonsiliasi antara keduanya terbuka lebar usai Partai Demokrat, partai yang dipimpin putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ditinggalkan Anies Baswedan.

Namun, Partai Demokrat justru berlabuh ke Prabowo. Padahal, sejumlah sumber internal Partai Demokrat menyebut mayoritas elit partai itu ingin agar Demokrat mendukung Ganjar yang diusung PDIP.

Musabab kekecewaan Mega pernah disampaikan politikus senior PDIP, Panda Nababan, dalam sejumlah kesempatan. Megawati, kata dia, kecewa karena SBY tak bicara jujur saat ditanya Megawati maju di Pilpres 2004 hingga belakangan keduanya saling berkontestasi.

Pertanyaan itu disampaikan Mega saat SBY menjabat sebagai Menko Polkam di masa pemerintahannya.

Masalahnya, PDIP kala itu bukan tidak pernah diajak untuk bergabung dengan pemerintahan SBY. Di periode pertamanya, SBY pernah meminta sejumlah kader PDIP bergabung pemerintah (Harian Kompas, 23/11/2005).

Begitu pula pada periode kedua, saat Mensesneg Hatta Rajasa kala itu sempat mendatangi kediaman Megawati pada 6 Mei 2009 (Kompas, 29/6/2009). Belakangan hal itu diperkuat pernyataan SBY yang menyebut ada kehendak rekonsiliasi kedua partai. Namun, Megawati toh tetap bergeming.

Kini, peristiwa itu terulang saat Presiden Jokowi mencalonkan putranya, Gibran Rakabuming, untuk menjadi lawan PDIP di Pilpres 2024.

Megawati memang tak pernah mengungkap kejengkelannya pada Jokowi atau Gibran sebagai tokoh politik yang dilahirkan PDIP. Namun setidaknya, kesamaan peristiwa saat Mega dikhianati menterinya pada 2004 itu, cukup menjadi alasan Megawati dan PDIP akan kembali menjadi oposisi.

Lalu, kenapa Megawati masih tak kunjung menyatakan sikap di luar pemerintahan? Atau memang benar, pemilu kali ini akan menjadi sejarah PDIP mengubah sikapnya untuk bergabung dengan pemenang Pilpres?

Sebagai tokoh politik yang lahir dan besar di masa Orde Baru, Megawati memang dianggap keras dan sulit berkompromi, apalagi pada pihak yang mengecewakannya. Namun, sikap partai, yang notabene merupakan sikap politik tentu tak boleh diambil serampangan.

Megawati tampaknya memahami betul penyebab kekalahan kadernya di Pilpres 2024 lalu. Dia tentu tak ingin kesalahan itu terulang pada Pilkada yang akan digelar pada November mendatang setelah presiden baru dibentuk.

Apalagi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengantar kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres berlanjut di Pilkada untuk sebagian besar wilayah. Megawati yang kerap jengkel terhadap dugaan praktik abuse of power di Pemilu 2024, kini terlihat sedang menahan diri untuk tidak terlalu reaktif kepada penguasa baru.

(vws)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi