Jakarta, CNN Indonesia --
Kota Aleppo di Provinsi Idlib Suriah berhasil kembali jatuh ke tangan kelompok pemberontak Hayat Tahrir Al-Sham pada pekan lalu.
Saat itu, kelompok tersebut melakukan serangan besar-besaran ke Aleppo hingga menewaskan puluhan tentara Suriah tewas di tempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusia ikut turun tangan usai pemberontak tersebut kembali menyerang pemerintahan Bashar Al Assad di Aleppo.
Dua sumber tentara Suriah mengatakan mereka dibantu dua jet tempur Rusia dalam menyerang pemberontak di Idlib pada Minggu (1/12) malam waktu setempat.
Tindakan ini dilakukan lantaran Rusia merupakan sekutu setia bagi rezim Al Assad di Suriah.
Lantas, mengapa Rusia membela rezim Al Assad di Suriah?
Punya kepentingan nasional
Hubungan Rusia dan Suriah sejatinya telah dimulai sejak era perang dingin pada 1970-an. Kala itu, Uni Soviet menjadi negara setia yang selalu mengirimkan bantuan senjata kepada Suriah untuk memberangus kelompok-kelompok pemberontak yang ada di sana.
Namun, hubungan persahabatan Uni Soviet dan Suriah mulai redup saat negara itu terpecah menjadi beberapa negara bagian pada 1990. Sejak saat itulah pengaruh Uni Soviet di Suriah mulai meredup.
Pada 2000-an, saat Vladimir Putin terpilih menjadi Presiden Rusia, relasi personal antara Uni Soviet yang saat itu sudah berubah nama menjadi Rusia dengan Suriah kembali menyala.
Pada saat yang bersamaan, Bashar Al Assad juga terpilih menjadi Presiden Suriah. Pada titik inilah relasi Rusia dan Suriah mulai makin erat. Pengaruh Rusia di negara itu makin intens dan makin berkembang dari waktu ke waktu.
Singkat waktu, pada 2011, terjadi perang saudara di Suriah. Saat itu, kelompok pemberontak di Suriah berupaya menggulingkan rezim Al Assad yang dianggap terlalu otoriter dan menyengsarakan rakyat.
Pada perang saudara ini, Rusia memainkan peran penting dalam membantu Suriah mempertahankan rezim Al Assad. Rusia saat itu kerap memberikan bantuan senjata bagi tentara Suriah untuk memberangus kelompok pemberontak yang berupaya menggulingkan rezim yang lalim tersebut.
Namun, semua bantuan yang diberikan Rusia kepada Suriah itu ternyata tidak cuma-cuma. Para pengamat menilai bantuan-bantuan senjata itu diberikan karena ada kepentingan nasional yang ingin dicapai Rusia di Suriah.
"Mereka [Rusia] tidak memikirkan kepentingan Suriah, tetapi kepentingan mereka sendiri. Saya rasa mereka tidak benar-benar percaya pada Assad," kata profesor emeritus hubungan internasional di LSE, Margot Light dilansir BBC.
Dua kepentingan nasional Rusia di Suriah
Setidaknya, ada dua kepentingan nasional yang ingin dicapai Rusia di Suriah. Pertama adalah kepentingan nasional di bidang pertahanan dan keamanan.
Melalui bantuan-bantuan senjata yang diberikan kepada Suriah, Rusia dinilai ingin memperluas pengaruh militernya di Timur Tengah.
Hal ini dilakukan untuk memikat negara-negara di Timur Tengah, seperti Mesir, Libya, dan Irak untuk membeli senjata kepada Rusia. Sebab Rusia merupakan salah satu negara di dunia yang punya peralatan militer cukup canggih.
"Ini memberi militer pengalaman perang yang sesungguhnya untuk kepercayaan diri mereka sendiri dan mengirimkan pesan kepada seluruh dunia bahwa Rusia adalah pemain militer yang cakap dan modern," kata Reeve.
"Selain itu, ini juga menunjukkan senjata-senjata tersebut sedang beraksi kepada calon pelanggan," lanjut Reeve.
Kedua, Rusia juga punya kepentingan nasional dalam bidang perdagangan. Rusia berupaya menjalin hubungan erat dengan Suriah lantaran mereka ingin menguasai akses ke Pelabuhan Tartus.
Pelabuhan Tartus sendiri merupakan pelabuhan di laut Mediterania yang menjadi salah satu pelabuhan kunci dalam aktivitas perdagangan internasional. Pelabuhan ini menjadi tempat kapal-kapal dagang dari seluruh dunia berlalu lalang.
Oleh karena itu, Negeri Beruang Merah berupaya menguasai akses ke pelabuhan tersebut guna merebut keuntungan ekonomi dan kemudahan akses perdagangan.
(gas/rds)