Jakarta, CNN Indonesia --
Salah satu kebijakan prioritas Presiden Jokowi di periode kedua adalah Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Jokowi menawarkan draf undang-undang yang akan menjadi landasan penarikan investasi untuk pembangunan.
Kelahiran UU Cipta Kerja dimulai saat Jokowi memperkenalkannya pada pidato pelantikan presiden, 20 Oktober 2019. Saat itu, ia bilang Indonesia perlu omnibus law untuk mengurai persoalan investasi dan lapangan kerja.
Jokowi langsung memerintahkan kabinet barunya menyiapkan draf undang-undang yang kala itu dinamakan Cipta Lapangan Kerja. Sejumlah pihak mengejek nama UU itu dengan singkatan 'cilaka'. Pembuatan draf RUU itu hanya butuh waktu sekitar empat bulan. Pada 12 Februari 2020, pemerintah menyebut RUU itu sudah selesai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan RUU tersebut diganti namanya menjadi 'cipta kerja' atau kerap disebut 'ciptaker'.
Pembahasan RUU Cipta Kerja dimulai Maret 2020. Penolakan dilakukan sejumlah elemen masyarakat, termasuk buruh yang menggelar aksi demonstrasi di berbagai wilayah. Pada 24 April 2020, Jokowi mengumumkan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa sempat mereda.
Lima bulan berikutnya, tepatnya 25 September, pemerintah dan DPR kembali membahas RUU itu. Pembahasan dilakukan maraton. Dalam tujuh bulan saja, setidaknya diselenggarakan rapat sebanyak 64 kali, termasuk pada dini hari, akhir pekan, hingga saat reses.
Awalnya, pengesahan RUU Cipta Kerja dijadwalkan akan dilakukan 8 Oktober. Namun, DPR mengakali dengan membuat pengesahan tiga hari lebih cepat pada 5 Oktober karena rencana demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa dan buruh.
Para buruh lagi-lagi menggelar aksi untuk menolak pengesahan tersebut. Namun, rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja tetap digelar di Gedung DPR. Dalam rapat itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap pada sikapnya menolak RUU Cipta Kerja.
Namun, suara dua fraksi tersebut kalah oleh tujuh fraksi lainnya yang mendukung RUU ini disahkan, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Akhirnya, tepat 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja disahkan. Rapat dilakukan hingga tengah malah untuk mengesahan UU tersebut meski masih banyak ditolak publik.
Rakyat merespons. Demonstrasi pecah di berbagai daerah. Kerusuhan terjadi di hampir setiap unjuk rasa karena tindakan represif aparat kepolisian. Jokowi merespons kondisi itu dengan mengumpulkan menteri di istana, 9 Oktober. Dia mengatakan UU Cipta Kerja dibuat untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Dia menjelaskan ada 2,9 juta tenaga kerja baru di Indonesia setiap tahunnya. Padahal, ada 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Menurutnya, UU Cipta Kerja adalah jawaban atas hal itu.
"Undang-undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk para pencari kerja dan pengangguran," ucap Jokowi.
Sebulan setelahnya atau 2 November 2020, Jokowi tetap menandatangani aturan itu. Beleid yang dicatat dalam lembaran negara sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu resmi berlaku sejak 2 November 2020.
Uji materi hingga Perppu Jokowi
Penolakan dari masyarakat tak berhenti. Ormas-ormas Islam seperti PBNU dan PP Muhammadiyah juga terus menyuarakan penolakan atas aturan tersebut. Buruh dan sejumlah elemen masyarakat pun menyeret UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Persidangan berjalan sekitar satu tahun.
Pada 25 November 2021, MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Mahkamah menilai UU Cipta Kerja tak memenuhi syarat formil karena dibuat tak sesuai aturan perundangan dan asas unsur keterbukaan.
MK memberi waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja. Jika hal itu tidak dilakukan, MK menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Alih-alih menaati putusan itu, Jokowi justru membuat Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
DPR mengesahkan perppu itu menjadi undang-undang lewat rapat paripurna 21 Maret 2023. Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat sempat melakukan walkout, tetapi revisi UU Cipta Kerja tetap disahkan.
"Alih-alih menciptakan lapangan kerja, angka pengangguran malah makin tinggi," kata Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beberapa hari sebelum pengesahan.
Tak terbukti ampuh
Sejumlah pengamat menilai UU Cipta Kerja menjawab persoalan investasi dan lapangan pekerjaan. Pengangguran terus bertambah meskipun undang-undang yang digagas Jokowi itu telah berlaku. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang.
BPS juga mencatat 9,88 juta orang berusia 15-24 tahun berstatus not employment, education, or training (NEET) alias menganggur pada Agustus 2023. Jumlah itu setara 22,5 persen dari total penduduk kelompok usia itu. Pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menilai UU Cipta Kerja gagal memenuhi tugasnya untuk mendorong investasi dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Dia berpendapat pemerintah harus berbenah.
"Pemerintah perlu cepat menganalisa penyebabnya," kata Payaman.
Payaman menyarankan pemerintah memperkuat dukungan terhadap usaha menengah, kecil, dan mikro. Menurutnya, Indonesia masih akan bergantung pada sektor informal pada 5-10 tahun ke depan. Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pemerintah perlu membenahi dua hal untuk mengurai persoalan pengangguran.
Dia berkata pemerintah harus menggenjot penambahan skill angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi lulusan SMA ke bawah. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan lapangan kerja tersedia dengan terus menarik investasi masuk ke dalam negeri.
"Artinya, ketika mereka sudah diberikan pelatihan yang dibutuhkan untuk masuk ke dunia kerja, maka pekerjaan itu sendiri sudah harus tersedia dan kebijakan penciptaan lapangan kerja ini umumnya dapat dilakukan dengan mendorong realisasi investasi yang lebih besar," ucap Yusuf.
(dhf/DAL)