Sesat Pikir Capim KPK soal Usulan Penghapusan OTT

1 month ago 22

Jakarta, CNN Indonesia --

Pengamat mencibir usul Capim KPK petahana Johanis Tanak yang dalam fit and proper test di DPR menyatakan agar operasi tangkap tangan (OTT) pelaku tindak pidana korupsi ditiadakan saja, karena tak sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pengamat mengatakan OTT itu justru selama ini menjadi salah satu giat terdepan KPK dalam memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia.

Efek gentar terhadap koruptor

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman berpendapat OTT diperlukan KPK untuk pengungkapan kasus-kasus suap, sehingga tak hanya berpatok pada konstruksi penyidik membangun pengungkapan kasus (case building) saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, dia mengatakan OTT juga mampu menimbulkan efek gentar bagi pihak yang punya niat melakukan tindak pidana korupsi.

"Kalau rencana Tanak ini nanti akan diterapkan di KPK, tidak ada lagi OTT, ya tentu para pelaku tindak korupsi akan sangat senang dan mereka tidak akan takut lagi dan KPK kehilangan deterrent effect (efek gentar) di dalam pemberantasan korupsi," kata Zaenur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (20/11) malam.

Menurutnya, pernyataan Tanak yang ingin menghapus OTT itu adalah sesat pikir yang sekadar ingin mengambil hati dan menyenangkan anggota DPR. Pasalnya, kata dia, anggota DPR adalah penyelenggara negara yang juga rentan terhadap tindak pidana korupsi sehingga takut terkena OTT.

"Anggota DPR itu paling takut sama OTT, karena anggota DPR itu penyelenggara negara yang paling banyak diduga menerima suap dari para pengusaha, dari orang-orang yang dibantu urusannya dan seterusnya," katanya.

Zaenur pun mempersoalkan pernyataan Anggota DPR yang meminta KPK mengingatkan penyelenggara sebelum melakukan korupsi.

"Ada politisi bertanya, 'Kenapa tidak dicegah sebelum adanya suap? Kalau dicegah sebelum suap itu terjadi, padahal itu sudah ada informasi akan terjadi suap, maka pelaku akan membatalkan'. Padahal biasanya informasi akan adanya suap itu adalah kejadian yang kesekian kali, bukan merupakan pertama kali," ujar Zaenur menyindir anggota DPR tersebut.

Zaenur mengatakan KPK justru sebaiknya lebih kencang lagi dengan meningkatkan OTT terhadap penyelenggara negara yang melakukan aksi tipikor. Selain itu, dia mengatakan setelahnya tetap perlu juga ada perbaikan sistem agar tindak pidana korupsi tidak berulang.

"Pasca-OTT, dilakukan perbaikan sistem agar korupsi tidak terulang di instansi yang terkena OTT," ujarnya.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) didampingi Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu (kiri) dan Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) menunjukkan barang bukti uang tunai saat rilis kasus dugaan korupsi Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023). KPK menetapkan dan menahan 10 orang tersangka yang terjaring kegiatan tangkap tangan terkait kasus dugaan korupsi pemberian dan penerimaan hadiah atau janji dalam proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur keterta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) menyaksikan petugas KPK menunjukkan barang bukti uang tunai saat rilis kasus dugaan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

OTT KPK Tak Berlawanan dengan KUHAP

Hampir senada, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berpendapat pernyataan Johanis Tanak soal OTT itu tak memiliki dasar di dalam KUHAP justru tidak tepat.

Menurut Alvin, tidak ada hukum acara pidana yang dilanggar dari OTT yang dilakukan KPK sejak berdiri dua dekade lalu.

Menurutnya, KUHAP tidak mempermasalahkan metode dalam penindakan kasus.

"Apakah lewat OTT atau case building (membangun kasus). Justru yang penting itu soal pembuktiannya," kata Alvin saat dihubungi Rabu malam lalu.

Alvin mengatakan di negara yang korupsinya sistemik seperti Indonesia, OTT bisa jadi pilihan metode penindakan yang strategis. Namun, imbuhnya, dengan syarat bahwa operasi tangkap tangan terhadap koruptor itu harus dilakukan secara profesional dan akuntabel

"Jadi enggak ada alasan materiil maupun formil [jadi pembenar] kalau OTT itu dihentikan," ujarnya.

Di sisi lain, ia berpendapat memang banyak yang perlu dievaluasi dari sistem penindakan di KPK di era pimpinan sebelumnya. Evaluasi harus dilakukan pimpinan KPK ke depan.

"Misal di era Firli [Eks Ketua KPK Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri], banyak info bocor, suap penyidik dan lain-lain. Justru itu tugas pimpinan KPK ke depan, untuk mengevaluasi itu," ucapnya.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) memberikan keterangan pers kasus dugaan korupsi Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023).  KPK menetapkan dan menahan 10 orang tersangka yang terjaring kegiatan tangkap tangan terkait kasus dugaan korupsi pemberian dan penerimaan hadiah atau janji dalam proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur keterta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) memberikan keterangan pers kasus dugaan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Pernyataan Johanis Tanak soal hapus OTT ada di halaman selanjutnya


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi