Jakarta, CNN Indonesia --
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin meminta pemerintah memperhatikan hubungan dengan negara-negara di ASEAN menyusul joint statement atau pernyataan bersama RI-China terkait kerja sama maritim di Laut China Selatan (LCS).
Hasan menilai sengkarut perbatasan di LCS selama ini merupakan masalah kolektif di ASEAN. Hasan mengaku tak ingin Joint Statement tersebut justru mengabaikan kepentingan bersama negara-negara di ASEAN.
"Jangan sampai, kerja sama maritim kita dengan RRT di bidang ekonomi malah memperkeruh situasi di LCS atau hubungan baik kita dengan negara-negara ASEAN tetangga kita," kata Hasan saat dihubungi, Selasa (12/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimanapun juga, tetangga adalah pihak yang paling dekat untuk dimintai bantuan kalau kita ada masalah," imbuhnya.
Politikus PDIP itu juga menyoroti pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyusul kritik terhadap pernyataan bersama tersebut. Dalam klarifikasinya, Kemlu menyebut kerja sama maritim antara RI-China mencakup aspek ekonomi di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan LCS.
Hasan mempertanyakan apakah kerja sama itu akan menguntungkan RI karena selama ini kapal-kapal China yang masuk ke wilayah Natuna kerap melakukan pencurian ikan. Dia khawatir kapal-kapal China nantinya akan semakin bebas menangkap ikan di Laut Natuna.
"Apakah kapal-kapal nelayan China kemudian bebas berkeliaran di wilayah Natuna untuk menangkap ikan kita? Ini perlu diwaspadai," katanya.
Menurut Hasan, Indonesia selama ini konsisten menolak klaim nine-dash line atau garis putus karena itu tidak memiliki basis hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sudah kita ratifikasi. China kini menyebut wilayah perairannya di LCS dengan istilah ten-dash line.
Oleh karena itu, Hasan menilai, jika RI meneken kerja sama ekonomi perikanan di wilayah itu dengan pihak yang selama ini dianggap bertentangan dengan hukum internasional, hal itu sama halnya RI juga tak patuh pada hukum internasional.
"Bahkan mungkin kerja sama itu berpotensi melanggar hukum karena kita sudah meratifikasi UNCLOS sebagai UU No.17/1985," katanya.
Hasan mengingatkan agar Kemlu lebih berhati-hati dan responsif terhadap segala pernyataan resmi dari kunjungan Presiden. Dia meminta Kemlu tak hanya menjadi pemadam kebakaran jika ada polemik dari kerja sama tersebut.
"Saya harap Kemlu perlu lebih berhati-hati dan responsif dalam menyikapi segala bentuk pernyataan resmi dari kunjungan kenegaraan presiden," kata dia.
Pernyataan bersama atau joint statement antara China-RI dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing menuai kritik. Guru Besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyoroti kesepahaman bersama mengenai pengembangan bersama di bidang-bidang yang memiliki klaim yang tumpang tindih (overlapping claims).
Hikmahanto menyoroti poin tersebut berkaitan klaim tumpang tindih China di Laut China Selatan (LCS).
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata Hikmahanto dalam rilis resmi, Senin (11/11).
"Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh [dulu sembilan] Garis Putus telah berubah secara drastis," imbuhnya.
Merespons itu, Kemlu menegaskan kerja sama maritim RI dengan China sebagai upaya untuk memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan. Menurut Kemlu, kerja sama tersebut tak berdampak terhadap kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
"Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim '9-Dash-Lines'," demikian rilis Kemlu RI.
(thr/fra)