Pakar Respons Fenomena Kriminalisasi Guru yang Mendisiplinkan Murid

1 week ago 9

Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Kasus guru yang dipidana karena menghukum siswanya ramai diperbincangkan publik belakangan ini, salah satunya guru honorer Supriyani yang dilaporkan seorang polisi karena menghukum anaknya di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Sebelumnya, sejumlah kasus serupa yang memperlihatkan sosok guru yang berhadapan dengan hukum akibat metode peneguran atau hukuman kepada siswanya juga sudah pernah muncul.

Merespons fenomena marak kasus guru yang diproses hukum pidana karena mendisplinkan murid, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Albert Aries mengatakan aparat penegak hukum perlu segera meninggalkan instrumen hukum pidana sebagai sarana pembalasan. Dia pun lantas mengingatkan soal KUHP baru yang berlaku tiga tahun setelah disahkan pada 2023 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Masyarakat dan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim & advokat) perlu untuk segera meninggalkan paradigma lama (keadilan retributif) yang menggunakan instrumen hukum pidana sebagai sarana pembalasan (lex talionis) dalam menyongsong berlakunya KUHP Baru tahun 2026 nanti," ujar Albert Aries melalui keterangan tertulis, Selasa (5/11).

Ia menegaskan proses hukum terhadap para guru yang melakukan tindakan displin kepada muridnya harus mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Artinya, kata Albert, tidak menitikberatkan pada penghukuman dengan mengutamakan proses penyelesaian di luar pengadilan.

Albert mengingatkan soal asas hukum displiner yang merupakan alasan penghapus pidana di luar KUHP bagi para guru termasuk orang tua untuk mendisplinkan murid/anak-anak secara proporsional dan batas-batas kewajaran.

Terkait hal tersebut, dia pun mengapresiasi langkah Polri yang yang sudah mencoba mengedepankan keadilan restoratif dengan memerhatikan nota kesepahaman (MoU) dengan PB PGRI  No 53/XII/2012 dan No. 1003/XX/2012 dalam penanganan perkara dari para guru yang mendisplinkan murid.

"Kita berharap APH lain juga memiliki paradigma serupa agar hukum pidana tidak lagi dijadikan sarana pembalasan," ucap Albert Aries.

Belakangan ini, banyak pemberitaan menyoroti para guru diproses hukum karena mendisiplinkan muridnya. Selain dugaan kriminalisasi terhadap guru Supriyani di Konawe Selatan, CNNIndonesia.com sudah merangkum beberapa kasus lain sebagai berikut:

Wonosobo, Jateng

Seorang guru olahraga SD Negeri 1 Wonosobo berinisial MS dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa setelah melerai perkelahian di kelas.

Mengutip dari detikJateng, insiden tersebut bermula saat seorang siswa kelas 3 SD, yang terlibat perkelahian dengan temannya saat jam pelajaran olahraga, mengadu kepada ibunya, AS, bahwa MS telah memukulnya. Sang ibu lantas mendatangi sekolah dan melaporkan MS ke Polres Wonosobo pada 7 September 2024.

Kemudian, AS meminta ganti rugi sebesar Rp70 juta atas dugaan kekerasan terhadap MS tersebut. Angkar Rp70 juta itu kemudian diturunkan menjadi Rp30 juta setelah ditolak MS.

Imbas kejadian ini, sempat muncul penggalangan dana "Peduli Guru" di media sosial, di mana masyarakat diajak untuk berdonasi membantu MS.

Setelah melalui proses mediasi di Mapolres Wonosobo, yang dihadiri oleh kedua pihak beserta Ketua PGRI Kecamatan Wonosobo, akhirnya kasus ini berakhir damai. AS sepakat mencabut laporan demi menjaga nama baik daerahnya.

Makassar, Sulsel

Seorang guru ponpes di Makassar, Sulawesi Selatan, yang berinisial YB dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan menganiaya seorang santri berinisial SA (13) karena diduga akan mencuri.

Mengutip dari detikSulsel,  Kejadian bermula YB mencurigai SA berada dalam  kamar santri senior yang dalam kondisi kosong penghuni.  Santri itu kemudian dituduh akan melakukan pencurian, yang berujung pada tindakan kekerasan oleh sang guru.

Kepala Sekolah Ponpes Markaz Imam Malik, Faisal Abdul Rahman, menerangkan bahwa insiden tersebut terjadi pada 8 Juni 2024.

"Korban ini masuk di kamar kelas 3 dalam kondisi memang kosong, kemudian dia juga mencoret tembok," jelasnya.

Menurut Faisal, penghuni kamar saat itu sedang berada di hotel untuk acara wisuda.

Korban membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa ia hanya memeriksa barang yang dijanjikan kakak kelasnya. Namun, YB justru merasa tersinggung karena korban dianggap mengabaikan tegurannya, hingga akhirnya melakukan kekerasan.

"Akhirnya, kalau istilahnya kita di-tappe (ditampar) kepalanya dan tidak terima mi di situ bahwa dia tidak mencuri, dan tidak terima kepalanya dipukul," kata Faisal.

Akibat insiden ini, orang tua korban melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Makassar pada 10 Juni 2024. 

YB akhirnya dipecat dari posisinya pada 12 Juni 2024, setelah pelaporan tersebut.

Konawe Selatan, Sulsel

Dan terakhir, kasus penangkapan guru yang sedang hangat diperbincangkan adalah kasus Supriyani, guru SD Negeri 04 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Supriyani, guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun, didakwa melakukan kekerasan fisik terhadap seorang siswa, D (8), anak dari anggota polisi, Apida Hasyim Wibowo.

Supriyani dilaporkan ke pihak berwajib dan menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ujang Sutisna mengajukan dakwaan pasal 80 ayat (1) jo. pasal 76C UU Perlindungan Anak. JPU menyatakan Supriyani memukul korban dengan gagang sapu ijuk pada 24 Oktober 2024, menyebabkan luka memar di paha D.

Berdasarkan kronologi kejadian yang dipaparkan dalam persidangan, saat itu Supriyani mendapati D bercanda dengan temannya saat pelajaran berlangsung.

"Supriyani memukul korban satu kali pada paha bagian belakang menggunakan gagang sapu ijuk," ujar Ujang.

Setelah insiden tersebut, pemeriksaan visum menunjukkan luka memar dengan panjang sekitar 6 cm pada paha kanan dan 3,3 cm pada paha kiri.

Namun, Supriyani membantah tuduhan tersebut, sementara beberapa saksi tidak bisa memberikan bukti kuat mengenai insiden kekerasan itu.

Kasus ini semakin menuai perhatian karena munculnya isu lain di luar persidangan terkait dugaan kriminalisasi dan permintaan uang damai.

Kuasa hukum Supriyani, Andre Darmawan, menyatakan ada permintaan uang senilai Rp50 juta dari oknum kepolisian di Polsek Baito untuk menyelesaikan kasus ini. Tak hanya itu, ada permintaan tambahan sebesar Rp15 juta dari seseorang yang mengaku perwakilan lembaga perlindungan anak agar Supriyani tidak ditahan.

Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tenggara hingga Kejati Sultra pun turun tangan untuk menyelidiki kebenaran permintaan uang damai dari aparat  tersebut. Hingga saat ini, pemeriksaan mendalam masih berlangsung untuk menindaklanjuti kecurigaan tersebut.

Kasus Supriyani mengundang dukungan dari kalangan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara. Mereka menilai kasus tersebut sebagai bentuk kriminalisasi.

Di tengah persidangan, majelis hakim PN Andoolo telah mengabulkan permohonan penangguhan penahanan bagi Supriyani. Langkah ini memberikan kesempatan bagi Supriyani untuk tetap mengajar tanpa harus ditahan hingga bulan November.

Lebih lanjut, pada Senin (4/11) lalu, proses persidangan telah memasuki agenda pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan dari Supriyani.

(ryn, arn/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi