Endro Priherdityo
Dengan segala aksi musikal yang gemerlap, Jacques Audiard tak lantas lupa akan poin penting dari film Emilia Perez, yakni kemanusiaan.
Jakarta, CNN Indonesia --
Entah apa yang dipikir Jacques Audiard saat menulis dan menggarap Emilia Perez. Ia secara ajaib bisa mengombinasikan musikal, drama, laga, dan kriminal menjadi satu film yang padu.
Bagi saya, Audiard bahkan membuat film ini melebihi batasan-batasan stereotipe yang biasa saya lihat di layar lebar. Salah satunya adalah, Emilia Perez merupakan film asal Perancis dengan berbahasa Spanyol tapi berlatar lokasi dan budaya di Meksiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anehnya, dengan segala campur aduk tersebut, Emilia Perez menjadi salah satu film yang sangat mudah untuk diikuti, baik secara dramatisasi cerita dan sinematik, aksi laga, hingga koreografi dan musik yang mengiringi.
Salah satu bagian yang saya anggap sebagai kunci dari film ini adalah bagaimana Audiard mengomposisi musik dan koreografi dan menempatkannya pada jalan cerita. Musik dan koreografi tersebut bukan cuma padu, tetapi juga pas secara timing dan menghibur pada saat yang bersamaan.
Audiard juga bermain-main dengan jenis musikal yang dimainkan. Ia bisa beralih dari tampilan musikal seolah-olah di dalam pikiran karakter, hingga merupakan dialog antar karakter.
Dengan begitu, penonton tidak jemu dalam melihat penampilan musikal di film ini. Tidak melulu semua ungkapan hati dibawakan ala Elsa di Frozen, tapi tidak juga dengan harus diiringi kameo segambreng dengan raut wajah gembira.
Review Film Emilia Perez: Jacques Audiard secara ajaib bisa mengombinasikan musikal, drama, laga, dan kriminal menjadi satu film yang padu. (dok. Why Not Productions/Page 114/Pathé via IMDb)
Tarian dalam film ini bisa ala street style yang heboh dengan banyak kameo berwajah serius, hingga hanya sekadar march dan gerakan sederhana choir dari para kameo.
Maka dari itu, saya memberikan salut untuk Camille yang mengurus musik, Clement Ducol selaku penanggung jawab tata suara, hingga tim koreografer yang mengonsep segala pertunjukan musikal ini.
Selain itu, yang membuat saya semakin terheran-heran adalah, Audiard tidak kehilangan dalam mengarahkan cerita Emilia Perez. Hanya karena segala aksi musikal yang gemerlap, ia tak lantas lupa akan poin penting dari film ini, yakni kemanusiaan.
Emilia Perez dengan sempurna menggambarkan sebuah transformasi baik di tingkat pribadi seseorang hingga ke level masyarakat. Audiard dengan jelas menampilkan dan menegaskan bahwasanya kesempatan kedua akan selalu ada bagi setiap orang, termasuk untuk seorang mafia kartel.
Audiard bahkan tak perlu memberikan dramatisasi berlebihan ala telenovela untuk menguras emosi penonton.
Melihat perjuangan Perez untuk melepaskan kehidupan lamanya demi jujur pada dirinya yang sejati, kemudian menemukan rasa cinta yang damai, sampai aksi masyarakat yang menghargai segala bantuannya tersebut sudah cukup membuat relung tersentuh.
Belum lagi penampilan prima dari para pemain utamanya, Karla Sofía Gascón, Selena Gomez, Zoe Saldaña, dan Adriana Paz. Mereka memainkan perannya masing-masing dengan sangat baik tanpa ada siapa yang lebih unggul.
Review FilmEmilia Perez: Para pemain utama, Karla Sofía Gascón, Selena Gomez, Zoe Saldaña, dan Adriana Paz, memainkan perannya masing-masing dengan sangat baik tanpa ada siapa yang lebih unggul. (dok. Why Not Productions/Page 114/Pathé via IMDb)
Maka saya sangat memaklumi mengapa juri Cannes Film Festival memberikan penghargaan Best Actress secara bersamaan kepada mereka berempat.
Meski begitu, saya harus mengakui menyaksikan film berdurasi 2 jam 12 menit ini cukup membutuhkan konsentrasi, terutama saat memasuki pertengahan cerita. Namun percayalah, setelah itu, film ini sangat mengasyikkan.
Saya juga ingin mengapresiasi bagaimana Audiard menjaga nilai-nilai budaya serta fakta sosial dari masyarakat Meksiko yang menjadi latar di film ini. Fakta yang menyayat hati dari tragedi konflik horizontal bertahun-tahun saya rasa sudah jadi modal cukup untuk film ini melenggang ke jajaran kandidat peraih Oscar.
Namun Emilia Perez menawarkan lebih, yakni budaya tradisional masyarakat Meksiko yang saya anggap sebagai penutup paling sempurna menggambarkan transformasi karakter utama film ini.
Penutup itu sangat sederhana, bahkan tidak melibatkan para pemain utama, cuma para kameo dan masyarakat lokal. Mereka melakukan march, bernyanyi sendu dari hati, diiringi alat musik sederhana yang biasa mereka gunakan.
Adegan tersebut seolah-olah menggambarkan pesan Audiard bahwa siapapun bisa melakukan hal baik dan membawa kebaikan bagi sesama, tak peduli seberapa buruk masa lalunya. Tindakan baik sederhana bisa saja berdampak besar bagi orang lain.
(end/end)